Tuesday 7 December 2010

Bara Gelora dalam Gelora



Suara intro itupun mulai membakar nyawa orang-orang yang duduk melingkar di arena itu. Diibaratkan dalam prosesi pembakaran, intro itu bagaikan gesekan batang korek api pertama ke kotaknya. Menimbulkan percikan api pertama dan pertama sekali.
Orang-orang yang tadinya duduk dengan berbagai macam gaya, ada yang duduk tenang, duduk sambil mengobrol dengan temannya, atau sambil makan cemilan dan minum-minuman ringan bahkan sambil menguap-nguap tiba-tiba seperti disentak untuk berdiri tegak.
Semua berdiri, tidak ada yang terkecuali...Saat intro sudah mengalun dan masing-masing yang ada disitu mulai bernyanyi.
"Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku....."
Itu lirik awal lagu yang selalu terdengar sangat heroik sekali bagiku. Bukan hanya dari komposisi lagu yang menawan, tapi juga bagaimana lagu itu sangat membakar jika dinyanyikan secara komunal.
Gelora itu sangat aku rasakan saat bersama dengan 60.000 orang yang menonton pertandingan Indonesia - Thailand yang akhirnya dimenangkan oleh Tim Nasional Indonesia dengan skor 2-1.
Sangat-sangat bergelora dan sangat-sangat membuatku merasakan makna berbangsa dan bernegara.
Saat itu menjadi saat dimana aku berpikir kenapa arena ini dikatakan Gelora Bung Karno? Apa yang menjadi alasannya dibalik itu semua?
Mungkin tanpa dikatan dan dijelaskan kepadaku, mungkin sedikit aku bisa tau kenapa dikatakan Gelora Bung Karno...

Karena memang geloramu akan dibakar di Gelora ini...

07 Desember 2010

Gelora Bung Karno (Sektor 23)

Sunday 31 October 2010

Asmara Nababan dalam Kenangan

Oleh Ignas Kleden

KOMPAS.com - Asmara Nababan meninggal dunia pada suatu hari yang seakan menjadi keinginannya sendiri: 28 Oktober 2010, Hari Sumpah Pemuda, setelah lebih dari setahun menderita kanker paru-paru.

Gejala pertama yang sempat diceritakannya ialah ketika dia kembali ke kampung halamannya di Siborong-borong, Tapanuli Utara, pada Desember 2008, untuk merayakan Natal di sana. Suatu pagi ketika dia sedang melakukan jogging, tiba-tiba saja dia kena serangan yang membuatnya tak sadarkan diri dan harus ditolong orang dengan membawanya ke rumah sakit.

Kembali ke Jakarta dia terlihat segar kembali dan menceritakan kejadian di Siborong-borong seakan suatu peristiwa kecil yang tak seberapa pengaruhnya terhadap kesehatan dan kegiatannya.

Ternyata setahun kemudian, pada hari-hari menjelang Natal dan pada hari raya Natal tahun 2009, dia harus dirawat di Rumah Sakit Darmais, Jakarta, dan menjalani operasi besar yang menyebabkan dia kehilangan sepertiga (!) paru-parunya.

Keluar dari rumah sakit dia bekerja kembali seperti biasa, antara lain mengikuti secara teratur rapat Badan Pengurus Harian di Komunitas Indonesia untuk Demokrasi sebulan sekali, selain kegiatannya di Demos dan keterlibatannya dalam beberapa LSM lainnya. Semenjak operasi itulah dia tidak pulih benar dari sakitnya dan lambat laun wajahnya menjadi agak sembab.

Dengan keadaan serupa itu, kegembiraan hidupnya tak kelihatan berkurang. Hanya lebih sering dia minta waktu untuk mengontrol kesehatannya. Selera makannya stabil meskipun langkahnya berjalan tidak semantap seperti semula kami mengenalnya.

Kehadirannya terasa

Asmara Nababan lahir di Siborong-borong pada 2 September 1946 dan mengembuskan napas terakhir di Guangzhou, China, dalam usia 64 tahun. Setelah menyelesaikan pendidikan menengah di Medan, dia ke Jakarta, menempuh kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hingga lulus, meskipun gelar SH tak pernah terlihat di belakang namanya.

Sejauh mengenalnya, saya berpendapat bahwa dia telah dengan sadar memilih bekerja sebagai tokoh organisasi masyarakat sipil tanpa tergoda untuk masuk suatu partai politik atau mendapat suatu jabatan dalam pemerintahan meskipun perhatian dan pengetahuannya tentang politik nasional dan perkembangan negerinya tak kurang dari politisi mana pun.

Berbagai kegiatan telah dijalankannya sebelum namanya mencuat secara nasional dan internasional ketika dia menjadi Sekretaris Jenderal Komnas HAM untuk periode 1993-1998, yaitu pada puncak transisi politik menuju reformasi, dengan berbagai ketegangan, pertentangan, serta kekerasan politik yang harus dihadapi.

Lepas dari Komnas HAM, dia menjadi anggota Tim Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998, kemudian bersama beberapa rekannya mendirikan Demos, suatu lembaga yang mengkhususkan dirinya dalam penelitian tentang demokrasi dan proses demokratisasi.

Hingga saat meninggalnya, dia adalah Ketua Dewan Pengurus Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dan anggota Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID). Dengan demikian, pusat perhatian dan tema perjuangannya adalah hak asasi manusia dan demokrasi.

Asmara Nababan bukanlah tokoh yang menonjol atau menonjolkan diri dalam kelompok tempat dia bekerja, tetapi tanpa disadarinya dia selalu membuat kehadirannya terasa. Dia tidak mempunyai kefasihan bicara yang membuat orang terpukau, tidak juga tampil dengan gagasan yang gilang-gemilang, tetapi kesungguhannya mendengar dan memerhatikan pembicaraan orang mendatangkan suatu wibawa khusus pada dirinya.

Siapa yang mengenalnya hanya sepintas lalu akan merasa bahwa dia hanya seorang dengan kapasitas rata-rata dan tidak istimewa. Akan tetapi, semakin lama mengenalnya, orang akan diyakinkan bahwa ada suatu yang khusus dan khas dalam kepribadiannya.

Berulang kali saya mengalami bahwa apabila dibutuhkan suatu informasi penting atau pemikiran untuk mengatasi kebuntuan, Asmara mengusulkan sesuatu yang justru dibutuhkan untuk mendapatkan jalan keluar, entah menyangkut masalah hukum, organisasi, atau manajemen. Dia mempunyai stock of knowledge at hand yang tidak diumbar sebarang waktu, tetapi yang siap digunakannya untuk melayani suatu kebutuhan.

Paradoks

Di sinilah muncul paradoks yang sukar saya pahami. Bagaimana seseorang dapat mempunyai pengaruh demikian besar di antara kawan dan rekan-rekannya, meskipun dia lebih banyak berdiam diri daripada bicara atau mencoba meyakinkan orang, bagaimana mungkin seseorang yang selalu menempatkan diri dalam posisi melayani, akhirnya memainkan peranan yang hegemonik, meskipun dia sendiri tidak menghendakinya dan tidak berusaha mencapainya?

Sampai sekarang tetap sulit saya mencerna dalam hati bagaimana caranya menggabungkan keteguhan pendirian dengan kelembutan hati, sikap keras terhadap diri, tetapi penuh maaf terhadap orang lain, suatu erudisi yang jauh di atas rata-rata dengan kesediaan mendengar dan menyimak apa yang dikatakan orang lain, bahkan oleh mereka yang lebih muda dan jauh kurang pengalamannya dari dia sendiri.

Saya memperkirakan bahkan orang yang bertentangan pendapat dan terlibat dalam debat dengannya akan tetap merasa diri sebagai pihak yang dihargai dan dihormati oleh seseorang yang mempunyai kehormatan. Asmara pastilah bukan seorang yang mencari kemegahan di atas kekalahan orang lain, meskipun dia dapat mengambil sikap tegas untuk menolak ketidakadilan dan siap berjuang menentang kekerasan politik.

Kadang-kadang terpikir juga apa kira-kira yang dapat diajukan sebagai kekurangan rekan ini? Setiap kali ada janji rapat, dia selalu tepat waktu. Kalau dia tak sempat datang, dia akan memberi kabar selalu dengan penyesalan, seakan-akan dia tidak melakukan tugas yang amat penting.

Ketika akan berangkat terakhir kali ke Singapura untuk berobat, dia masih datang ke kantor untuk menyampaikan bahwa dia tidak akan dapat menghadiri tiga acara yang diselenggarakan KID selama bulan Oktober. Dia demikian bersungguh-sungguh dengan keadaan fisik yang semakin lemah. Saya tak mempunyai firasat apa pun bahwa dia tak akan lagi menghadiri rapat kami untuk selama-lamanya.

Ada keyakinan aneh dalam diri saya bahwa dari tempatnya sekarang dia tetap akan mendengar apa pun yang dikatakan teman-teman dan menyimak pembicaraan rekan-rekannya dengan tingkat perhatian yang sama.

”Sweet is death that puts an end to pain”, itulah sepenggal sajak Lord Alfred Tennyson, yang saat ini terdengar bagaikan doa untuk almarhum. Semoga damai menjadi tempat dia beristirahat tanpa diburu rasa sakit lagi.

*Ignas Kleden Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
Sumber : Kompas Cetak

Tuesday 12 October 2010

Pahlawan yang Diberangus Sejarah



Oleh : Hotman Jonathan Lumbangaol

12-Jan-2009, 22:09:21 WIB - [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia - Amir Sjarifuddin Harahap hidup pada masa 1907-1948. Beliau lahir di Tapanuli Selatan 27 April 1907. Ayahnya, Djamin Baginda Soripada Harahap (1885-1949) keturunan kepala adat dari Pasar Matanggor, Padang Lawas dan mantan jaksa di Medan. Ibunya, Basunu Siregar (1890-1931), lahir dari keluarga Batak-Melayu.

Karakternya sejak kecil sudah telihat berkepribadian teguh, si Jugulbaut (si Badung). Masa remaja, Amir menimba pendidikan Belanda di ELS setara Sekolah Dasar di Medan sejak tahun 1914 hingga tahun 1921. Tahun 1926 atas undangan sepupunya, TSG. Mulia pendiri penerbit Kristen BPK Gunung Mulia yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad (Dewan) belajar di Kota Leiden, Belanda mengajak Amir untuk juga sekolah di Belanda.

Di Belanda, Amir aktif berorganisasi pada Perhimpunan Siswa Gymnasium, Haarlem. Selama masa itu pula dia aktif mengelar diskusi-diskusi Kelompok Kristen, di kemudian hari Kelompok Kristen menjadi embrio lahirnya Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia. Di Belanda, dua sepupu ini menumpang di rumah seorang guru penganut Kristen Calvinis bernama Dirk Smink.

Kristen Calvinis adalah aliran gereja yang ketat soal doktrin. Calvisnis berasal dari spirit ajaran John Calvin (1509-1564). Sebenarnya Amir Sjarifuddin seorang Muslim. Berpindah agama Kristen saat di Belanda, tetapi dibaptis di HKBP Kernolong, Jakarta tahun 1931. Dia tidak saja hanya berpindah iman tetapi mendalami agama Kristen sungguh-sungguh.

Tiap hari Minggu turut berkhotbah. Khotbahnya selalu menyetuh, dan meneguhkan banyak orang. Paparannya tentang Injil sangat mendalam. Amir adalah orang yang berpengetahuan tinggi, soal politik dan teologia. Bahasanya sederhana dan lugas. Amir sebagai seorang orator yang sangat brilyan, yang suka membumbui kata-katanya dengan humor, karenanya ia menjadi sangat populer.

Sebagai orang yang Kristen sejati, Ade Rostina Sitompul, aktivis kemanusiaan. Ade punya kenangan pada sosok Amir Sjarifuddin, karena ayahnya Kasianus Sitompul berkawan dengan Amir. Amir tinggal di Daerah Guntur, Jalan Sumbing. Kawasan Guntur terkenal dengan kampung Batak. Kala itu, orang Batak bergereja di rumah salah satu warga bermarga Nainggolan, disanalah sering Amir berkotbah.

“Kohtbahnya bersemangat nasionalisme. Bagaimana mengusir Jepang, bagaimana hidup sebagai Kristen. Dia bercerita bagaimana kenangan-nya dipenjara Jepang, dia suruh minum sebanyak-banyaknya, lalu dia digantung dengan kepala ke bawah, lalu air tumpah keluar semua. Saya melihat sosok Amir itu adalah orang yang bersahabat, selalu mengajak anak-anak dialog. Yang pertama dia Tanya sudah berdoa belum? Namanya harus dipulihkan. Apalagi setelah buku yang ditulis dengan Sumarsono itu,” ujar Ade Rostina Sitompul.
Soal semangatnya Kristen-nya, Amir Sjarifuddin mengidolakan Toyohiko Kagawa (1888-1942). Kagawa adalah tokoh Kristen Jepang, yang dulunya adalah penganut agama Shinto. Hidup dengan orang-orang miskin di daerah kumuh, Shinkawa, Jepang.

Dia dikenal sebagai bapak dari gerakan buruh di Jepang, seorang pendiri Serikat Buruh pertama di Jepang yang menyerukan melawan materialisme, kapitalisme. Bagi Kagawa, Kekristenan seharusnya malu mendirikan gereja-gereja besar dan mahal, tetapi gagal mengikuti manusia yang lahir di palungan dan dikubur makan milik orang lain. Bagi Kagawa Salib Jesus itu kuasa yang besar.

Amir tidak hanya pintar berbicara, tetapi pintar menulis. September 1927, sekembalinya dari Belanda, Amir masuk Sekolah Hukum di Batavia dan tinggal di asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat nomor 106. Dalam memperjuangkan kemerdekan Indonesia, dia terlibat berbagai pergerakan bahwa tanah. Tahun 1931, Amir mendirikan Partai Indonesia (Partindo).

Lalu, mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) sembari menulis dan menjadi redaktur “Poedjangga Baroe”. Tahun 1928-1930 dia adalah pimpinan redaksi majalah Perhimpunan Pemoeda Pelajar Indonesia (PPPI). Sebagai seorang wartawan, dia menulis dengan nama samaran "Massa Actie".

Tahun 1942, sebelum dipenjara Jepang, Amir bersama sejumlah orang Kristen menerbitkan Boekoe Peringatan Hari Djadi Isa A-Maseh. Pada bulan Januari 1943 dia tertangkap oleh fasis Jepang, karena dianggap pemberontak. Kejadian itu membongkar jaringan, organisasi anti-fasisme Jepang yang dimotori Amir. Amir dituduh memimpin gerakan di bawah tanah yang dibiayai dengan uang sebesar 25 ribu Gulden dari Van der Plas.

Untuk hal ini, Amir dihukum mati oleh Jepang. Namun, intervensi Soekarno hukuman itu tidak dilaksanakan. Sebuah dokumen Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service (NEFIS), menyebutkan, instansi rahasia yang dipimpin Van Mook, 9 Juni 1947 menulis tentang Amir; "ia mempunyai pengaruh besar di kalangan massa dan orang yang tak mengenal kata takut".

Juli 1945, Amir menulis di Harian Belanda “Nieuwsgier”, bahwa ia tidak seperti Sjahrir, yang sudah merasa senang dengan berada di tengah kalangan intelektual. Zaman baru ini mendorong umat Kristen Indonesia untuk lebih serius memikirkan masa depannya. Berbuat untuk negara ini.

Pendiri Jong Batak
Tahun 1925, sejak “Jong Sumatra”, kesadaran Batak mulai mucul. Amir Sjarifuddin, Sanusi Pane (1905-1968), dan teman-temanya yang sesama etnis Batak, mendirikan organisasi yang disebut “Jong Batak”. Organisasi pemuda Batak ini dibentuk atas kesadaran, karena nominasi “Minang” yang lebih dominan di organisasi “Jong Sumatra “ itu.

Atas kesadaran itu Amir dan rekannya membangun semangat baru bagi pemuda Tanah Batak. Salah satu kesepahaman mereka adalah “Bahasa Batak kita begitu kaya akan puisi, pepatah dan pribahasa yang kadang-kadang mengandung satu dunia kebijaksanaan tersendiri. Bahasanya sama dari Utara ke Selatan, tapi terbagi dengan jelas dalam berbagai dialek. Kita memiliki budaya sendiri, aksara sendiri, seni bangun yang tinggi mutunya, yang sepanjang masa tetap membuktikan bahwa kita memiliki nenek-moyang yang perkasa. Sistim marga yang berlaku bagi semua kelompok penduduk negeri kita menunjukkan adanya tata Negara lama yang bijak. Kita mempunya hak untuk mendirikan sebuah Perserikatan Batak yang khas, yang dapat membela kepentingan-kepentingan kita dan melindungi budaya kuno kita…” (Hans Van Miert, hal 475).

Dihapus dari Sejarah
Dia dieksekusi pada Peristiwa Madiun tragis 19 Desember 1948, pada usia 41 tahun. Dihujat berlebihan. Purbasangka yang tak berdasar. Orang PKI menyebutnya, “krucuk” anak bawang dalam politik, dia nyaris tidak mendapat tempat dari teman-temannya. Lawan politiknya menyebutnya dia arogan.

Pada 29 November 1948, Amir dua rekannya Soeripino dan Harjono bersembunyi di sebuah gua di Pengunungan Gua Macan, sebelah Utara Klabu, Panebahan. Dari dalam gua Amir sempat menyerukan “Saya hanya mau menyerah pada pasukan Panebahan Senopati.” Baru menyerahkan diri tanpa menggunakan sepatu, berpiyama dan memegang pistol, janggutnya tidak terurus dan rambutnya acak-acakkan.

Amir diberondong senjata tim eksekusi, suruhan Kolonel Gatot Subroto, distigma otak dari semua malapetaka Madiun 1948. Sebelum ditembak, Amir sempat bertanya ke komandan regu tembak. “Apakah niatnya itu sudah dia pikirkan dengan matang. Bahwa jika saya mati, negara akan rugi besar,” dengan tegas dijawab “Saya mengikuti komando”.

Untuk terakhir kalinya, Amir sempat menulis surat untuk isterinya. Setelah itu dia bernyanyi Indonesia Raya dan Internasionale baru ditembak. Saat dieksekusi ia memegang Alkitab. Wartawan senior, Rosihan Anwar menulis, Amir dieksekusi dengan menggenggam sebuah buku doa Kristen, bukan Alkitab.

George Mc Turnan Kahin penulis buku Nationalism and Revolution in Indonesia menceritakan bahwa Amir Sjarifuddin menjadi tokoh oposisi di barisan Sayap Kiri karena Dia merasa ditinggalkan oleh Aerika yang katanya jago demokrasi itu. Amir Sjarifuddin "kecewa kepada Amerika sewaktu perundingan Renville".

Kegengerian itu tidak hanya berhenti disitu. Setelah dia mati, keluarganya terluntah-luntah. Dua tahun setelah meninggal, atas perintah Presiden Soekarno, pada tanggal 15 November 1950, pusaranya digali kembali, dilakukan proses identifikasi selama seminggu. Setelah proses identifikasi, diadakan serah terima kerangka kepada keluarga, dimakamkan kembali dengan nisan masing-masing berjajar.

Masa Orde Baru tahun 1965, pasca-G30S, sekelompok pemuda menghancurkan pusara itu lagi. Lalu ditutupi dengan potongan rel kereta api, setiap sisi diberi cor semen. Makam-makam baru juga dibangun bersebelahan dengan setiap sisi sehingga kerangka Amir Sjarifuddin sulit dipindahkan keluarga.

Warga desa Ngaliyan tidak berani menghalang-halangi pemuda-pemuda tersebut sebab pada saat itu terror juga turut mereka rasakan. Kesulitan untuk memugar makam tersebut dirasakan pihak keluarga harus mengurus perizinan yang rumit dari aparat pemerintah desa hingga pemerintah pusat. Lucunya harus persetujuan Kodim serta pihak Departemen Pertahanan Keamanan.
Informasi tentang Amir Sjarifuddin pun sengaja ditutup-tutupi. Di sekolah, belajar sejarah, nama Amir tidak pernah terdengar. Itu sebabnya sosoknya tidak banyak yang tahu, dan jarang diangkat media. Informasi tentang pejuang-nya selalu dibragus.

Satu fakta, Majalah Prisma tahun 1982 pernah hampir dibredel karena memuat tentang tulisan Amir Sjarifuddin, dalam rangka 75 tahun Amir Sjarifuddin. Tahun 1984 Penerbit Sinar Harapan pernah menerbitkan tesis Frederiek Djara Wellem berjudul: “Amir Syarifuddin; Pergumulan Iman dan Perjuangan Kemerdekaan”. Sayang, buku itu di-sweeping oleh pemerintahan Soeharto, karena dianggap merusak sejarah Indonesia.
Pada 27 Mei 2008 lalu, untuk mengenang jasa-jasanya, STT Jakarta mempelopori seminar bertajuk “Amir Syarifuddin Nasionalis Pejuang Kemerdekaan dan Pembebasan Rakyat”. Tampil sebagai pembicara: Setiadi Reksoprodjo mantan menteri pada kabinet Amir Syarifuddin, Ketua STT Jakarta Dr. Jan .S Aritonang, Aswi Warman Adam dosen sejarah dan peneliti. Seminar dimoderatori Fadjroel Rahman.

Perjuanganya tidak pernah dihargai negara. Untuk pemugaran makam-nya saja dibutuhkan waktu 60 tahun. Pemungaran baru bisa tahu lalu dipelopori lembaga Ut Omnes Unum Sint Institute dalam bahasa Latin, yang artinya Agar Semua Satu Adanya. Lembaga yang didirikan 17 pemuda Batak, saat ini diketuai Jones Batara Manurung. Pemungaran tepatnya dimulai 12 Agustus 2008, dengan serangkaian tahapan antara lain: Pertama, pendekatan pada warga desa Ngaliyan dengan koordinasi dengan Komnas HAM.

Lalu dilakukan pertemuan seputar teknis pelaksanaan pemugaran, oleh Ut Omnes Unum Sint Institute memberitahukan perihal rencana pemugaran pada pihak pihak Kecamatan Karanganyar. Setelah pemugaran selesai, tanggal 14 November diadakan Ibadah Syukur di Gereja Dagen Palur, Solo dihadiri para undangan dari berbagai Gereja, LSM, organisasi kemahasiswaan di Solo dan Yogyakarta.
Saat ini di Desa Ngaliyan, setiap bulan “Ruwah”, satu bulan sebelum puasa Islam warga punya tradisi membersihan, perbaikan makam. Bagi masyarakat Ngaliyan, Amir Sjarifuddin dan kawan-kawan adalah pahlawan. Dulu, setiap bulan Ruwah, warga Ngaliyan tidak berani membersihkan makam, takut dicap PKI. Sebutan tak kalah kejam adalah dia disebut seorang ateis, atau seorang yang beragama komunis.

Tetapi kebenaranya sejarah merungkap bahawa ideologi politiknya memang komunis, tetapi dia bukan anti-agama. Para pemimpin agama anti-komunislah menyebut dia ateis. Amir jelas penganut humanis, politikus flamboyan, seniman. Tak kala galau dia mengesek biola saban dulu menjadi kegemarannya. Tidak ada tanda-tanda dia ateis. Aristoteles mengatakan “Nilai manusia, bukanlah ditentukan oleh kehancuran hidup dan cita-citanya tetapi oleh perjuangannya mempertahankan harkat kemanusiaannya.” Kata-kata itulah yang tepat mengambarkan hidup tragis Amir Syarifuddin Harahap. (*)


* Penulis adalah wartawan budaya Batak
Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/

Monday 11 October 2010

Mengapa ada warna?




Mengapa sejumlah pohon berubah menjadi semacam kolase pancaran warna merah anggur, merah, oranye, dan kuning pada musim gugur? Pepohonan tampak hijau di musim panas karena klorofil, suatu pigmen hijau yang terkandung dalam dedaunan, bekerja menyerap sinar merah dan biru dari matahari. Sinar yang terpancar dari daun itulah yang terlihat hijau pada mata kita.

Klorofil adalah zat yang tidak stabil, dan sinar matahari yang terang menyebabkannya membusuk dengan cepat. Oleh karena itu, tanaman harus terus-menerus bersintesis dan beregenerasi. Namun, hari-hari yang lebih pendek dan malam-malam musim gugur yang sejuk telah mempengaruhi proses tersebut. Ketika klorofil terurai, warna hijau dari dedaunan pun mulai memudar. Sejumlah pohon berubah warna dari hijau ke kuning cerah karena jumlah klorofilnya berkurang. Pada pepohonan yang lain, kadar gula di dalam dedaunan menghasilkan pigmen merah, yang menyebabkan dedaunan berubah warnanya menjadi merah anggur, ungu, dan merah cerah ketika klorofilnya memudar.

Namun, mengapa ada warna? Rasanya tidak ada kegunaan yang praktis dari warna—sesuatu yang juga tidak dapat dimengerti oleh para ilmuwan. Dan mengapa ada fotoreseptor (sel-sel khusus yang menerima atau peka terhadap cahaya) di dalam mata kita yang memampukan kita untuk melihat warna?

Saya percaya bahwa kebaikan Allah merupakan maksud penciptaan-Nya. Dia “itu baik kepada semua orang, dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya” (Mzm. 145:9). Allah mewarnai dunia demi kesenangan kita. Tahukah Anda bahwa Allah kita itu baik? —HDR

Allah, Perancang dari segala ciptaan
Berfirman, maka keindahan pun tercipta,
Lalu Dia b’rikan keselamatan agung-Nya pada kita
Melalui pengorbanan Putra tunggal-Nya. —Hess
Kemuliaan Allah bersinar melalui ciptaan-Nya.

1:1 Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh,

1:2 tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam.

1:3 Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil.

1:4 Bukan demikian orang fasik: mereka seperti sekam yang ditiupkan angin.

1:5 Sebab itu orang fasik tidak akan tahan dalam penghakiman, begitu pula orang berdosa dalam perkumpulan orang benar;

1:6 sebab TUHAN mengenal jalan orang benar, tetapi jalan orang fasik menuju kebinasaan.

Sunday 10 October 2010

Jangan dilumpuhkan kesedihan



Kesedihan adalah bagian yang tidak terelakkan dalam hidup. Kita tidak dapat memutuskan untuk tidak bersedih, karena memang "ada waktu untuk menangis" (Pkh. 3:4). Namun kita dapat memutuskan bahwa kesedihan tidak sampai melumpuhkan kita.

Kematian Absalom melahirkan kepedihan yang begitu dalam di hati Daud (18:33). Sedemikian berdukanya Daud sehingga tentaranya yang pulang dari medan perang masuk kota diam-diam, seperti baru saja kalah perang (19:3). Padahal tentara yang menang perang biasanya akan disambut dengan sorak sorai oleh warga kota. Sungguh ironis.

Mengapa Daud begitu sedih? Karena Daud hanya terfokus pada fakta bahwa Absalom, anaknya, mati. Ia tidak melihat sisi lain, yaitu realitas bahwa Absalom adalah pemberontak dan pengkhianat, yang ingin merebut takhta ayahnya sendiri. Daud juga begitu bersedih karena dia tahu bahwa kematian anaknya merupakan bagian dari hukuman Allah terhadap dia karena telah berzinah dengan Batsyeba dan kemudian membunuh suaminya, Uria. Daud tentu masih ingat perkataan nabi Natan, "Pedang tidak akan menyingkir dari keturunanmu sampai selamanya" (2Sam. 12:9-10).

Memperhatikan hal itu, Yoab menegur Daud dengan keras, karena kesedihan Daud berarti mempermalukan orang-orang yang telah menyelamatkan nyawanya. Padahal mereka sendiri mempertaruhkan nyawa mereka untuk membela Daud. Teguran Yoab menyadarkan Daud untuk bangkit dari kedukaan (19:8). Daud harus mengendalikan diri karena dia adalah pemimpin. Banyak hal yang harus diatur dan banyak orang yang membutuhkan kepemimpinannya (8).

Bersedih adalah sesuatu yang normal, yang mungkin dialami oleh setiap orang. Namun membiarkan diri dilanda kesedihan dapat melumpuhkan kita sehingga kita kehilangan kesempatan untuk melihat bahwa Allah, di dalam kasih karunia-Nya, berkenan mengangkat kesedihan kita. Ia juga akan mengaruniakan penghiburan yang menguatkan kita.

Thursday 26 August 2010

akulturasi


Akulturasi....kata ini adalah kata yang aku anggap keren sewaktu duduk di SMA. "Koq keren???" "Keren aja....hahha"
Bukan sekedar kalau mendengar kata ini, kuping agak sedikit harus peka dan otak agak sedikit berpikir lebih cepat, tapi memang makna kata ini luar biasa menurutku.

Walau belum membaca kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), menurutku makna dari kata ini adalah sebuah pencampuran dua hal yang berbeda menjadi satu kesatuan dan membentuk suatu hal yang baru.

Pencampuran - Perbedaan - Persatuan - Hal baru

Keren bukan? (gpp klo ada yang anggap ga keren). Tapi tetap bagiku suatu hal yang menakjubkan. Pertama sekali mengetahui sewaktu belajar sejarah kebudayaan Indonesia. Ada akulturasi Hindu Budha di candi-candi. Ada akulturasi Kristen Batak di Tanah Toba. Dan berbagai macam akulturasi sehingga menciptakan kebudayaan baru.
Di Internasional kita kenal dengan Helenistic. Sebuah akulturasi unik yang menciptakan budaya baru.

Seorang praktisi Marketing pernah mengatakan bahwa untuk menciptakan produk baru, kita bisa mencampurkan dua produk eksisting. MAsuk akal...Mungkin dia belajar dari akulturasi ini juga...hehe....

Satu hal yang unik dan menarik hatiku di negeri Sriwijaya ini adalah dengan adanya akulturasi agama dan kebudayaan. Ceng Ho adalah produk dasarnya. Perpaduan antara Islam dan Kebudayaan Tiong Hoa. Hal yang unik menurutku karena jarang sekali bangsa Tiong Hoa yang beragama Islam. Tapi ada saja.

Bentuk mesjidnya juga unik. Aku mengunjungi mesjid Ceng Ho dan akulturasi itu menyambutku dengan hangat. Paduan bangunan mirip klenteng yang berpuncak pada Bulan dan Bintang.

Akulturasi yang membimbing kita pada sebuah makna yang dalam.
Pencampuran - Perbedaan - Persatuan - Hal baru. Jika boleh saya tambahkan yang baru, ialah Toleransi. Kesemuanya bermuara pada toleransi. Walau berbeda itu menjadi satu oleh yang baru, tapi yang baru dan yang lama tetap bertoleransi. Indahnya semua hal ini saat bertemu pada kutub TOLERANSI. Semoga negara Indonesia juga bisa belajar makna toleransi ini.

Kota Pempek Palembang
27 Agustus 2010

Daniel A Nababan


Wednesday 18 August 2010

Serta - menyertai - penyertaan - disertai


Kata yang selalu aku ingat jika berbicara tentang teman, sahabat, keluarga bahkan dengan Tuhan. Yang paling melekat adalah dengan Tuhan, karena menggambarkan bagaimana janji dan ketetapan bersatu dalam kata ini.
Dengan apa Tuhan selalu menepati setiap kata dan janji yang terucap dari padaNya? Dengan apa Tuhan bisa berada di dalam setiap situasi-situasi suka maupun duka manusia? Jawabannya aku dapatkan dari kata “penyertaan” ini. Hal yang sederhana tapi merupakan jalan Tuhan untuk menunjukkan ke-Tuhan-nya. Hal yang mudah tapi terlalu mudah juga dilupakan orang. Hal yang terkesan di awang-awang tapi bermakna mendalam. Bukan hal yang imajinatif tapi aplikatif…
Kadang penyertaan itu juga kita salah pahami. Kita pikir Dia meninggalkan kita, tapi tanganNya justru yang memegang kita. Kadang kita tidak melihat Dia dan beranggapan Dia tidak ada, tapi justru kita yang tidak melihat Dia dan tidak memperdulikan “kesertaan”-Nya. Berteguh pada pengharapan adalah selalu mengimani bahwa Dia beserta kita.
Itu yang kurasakan saat menginjakkan kaki di anak tangga yang ke-27. Tak cukup kugambarkan tapi hanya bisa kusaksikan. Terutama untuk yang menyertai dan bahkan untuk yang berjuang untuk menyertaiku. Aku rasakan kasih nyata itu melalui sebuah tindakan penyertaan. “Menyertai” bagiku bermakna ada di setiap gejolak perasaan. “Menyertai” bagiku benar-benar meluangkan waktunya untukku. Bahkan jika memang itu bukan waktu yang terluang, tapi waktu yang seharusnya dipakai tapi berani mengoyaknya untuk bersama.
Sebuah pelajaran dan perasaan yang indah. Semuanya bermakna saat “penyertaan” itu datang, dirasakan dan dinikmati. Sungguh hal yang membuatku…merasa kau selalu dekatku

Tinggal sertaku hari t’lah senja
G’lap makin turun, Tuhan tinggallah
Lain pertolongan tiada kutemu
Maha penolong, tinggal sertaku
(Abide with me, Henry Francis Lyte,1847)

Thursday 12 August 2010

Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban


Wajah lama itu sudah tak keruan di kaca,

sedang wajah baru belum jua jelas.

Siapakah itu orang atau manusia Indonesia?

Apakah dia memang ada?

Di mana dia?

Seperti apa gerangan tampangnya?



Mochtar Lubis

Wednesday 11 August 2010

Ketika Keindonesiaan Kita Terkoyak


kompascetak.com
Rabu, 11 Agustus 2010 | 03:34 WIB

Bunyi sila kedua dasar negara kita, Pancasila, hingga hari ini masih terasa begitu indah di telinga. Baik dalam tataran makna maupun ritme dan semangat dari untaian kata-katanya: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Juga masih aktual, paling tidak sebagai bahan refleksi di usia ke-65 tahun republik ini.

Semangat yang diusung para pendiri bangsa ketika merumuskan rangkaian kata tersebut tentulah berangkat pada kenyataan sejarah. Bangunan rumah bersama—baik secara politik maupun kultural—bernama Indonesia itu, dengan Pancasila sebagai lapiknya, dijelmakan sebagai sesuatu yang diidamkan untuk kepentingan bersama.

Kemanusiaan adalah bentuk lain dari semangat menghargai satu sama lain, sosok yang toleran, yang dalam perilaku sehari-hari didasarkan pada kepentingan bersama sebagai sesama anak bangsa. Akan tetapi, bangunan keindonesiaan yang ideal itu kini—harus diakui—mulai terkoyak, terutama pasca-krisis multidimensi yang mengharu-biru negeri ini sejak era reformasi.

Pada sementara orang dan kelompok, keragaman tidak lagi dipandang sebagai suatu anugerah. Perbedaan pandangan kini gampang sekali memicu konflik hingga berdarah-darah.

Apa yang disebut sebagai pluralisme dan multikulturalisme, yang sejatinya sudah muncul semenjak penghunian manusia pertama di Nusantara pada masa prasejarah, kerap disalahtafsirkan secara sempit dalam hubungan pengakuan keyakinan beragama. Bahkan tak jarang dimunculkan isu mayoritas-minoritas atau superioritas-inferioritas, yang pada akhirnya gampang menyulut pertikaian.

Kata-kata bijak bahwa anak negeri ini menghuni bangunan rumah bersama dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia selalu dilandasi semangat gotong royong, rukun, dan toleran, dalam beberapa aspek tampak mulai kedodoran. Semangat menghargai pun sudah mulai kehilangan sosoknya. Kata ”kami” atau ”kamu” kini cenderung mulai mendominasi ranah pergaulan sehari-hari, menggantikan sekaligus menyingkirkan kata ”kita” yang seharusnya menjiwai persaudaraan dalam kebersamaan.

Alhasil, sifat eksklusivisme kelompok pun kian menonjol. Semangat kebinekatunggalikaan yang lebih menekankan penghargaan terhadap keragaman, kesetaraan, dan kesederajatan, kini sepertinya mulai tenggelam di tengah semangat pencarian jati diri kelompok-kelompok tertentu. Di mana sosok manusia Indonesia yang toleran itu kini bersembunyi? Di mana keadilan kini bersemayam? Dan, di mana keadaban itu bertakhta?

Kesenjangan sosial

Terlalu banyak contoh kekerasan komunal di negeri ini, terutama sejak era reformasi bergulir. Konflik-konflik sosial di berbagai pelosok Tanah Air kerap menghiasai layar kaca stasiun televisi, mengisi halaman muka surat kabar, internet, dan siaran radio. Tak jarang karena persoalan sepele, seperti kasus kerusuhan di Ambon, merambat dan meluas menjadi pertikaian antaretnis yang berlarut-larut. Bahkan, hanya lantaran ”jago” mereka kalah dalam pemilihan kepala daerah, amuk massa bisa terjadi di negeri ini.

Di tengah massa yang marah, nilai-nilai ”kemanusiaan yang adil dan beradab” hanya tinggal sebaris kata-kata. Akan tetapi, betulkah sejatinya manusia Indonesia adalah jiwa-jiwa pemarah? Sungguhkah manusia Indonesia adalah sosok-sosok beringas?

Bagus Takwin, ahli psikologi sosial dari Universitas Indonesia, tidak percaya sifat-sifat buruk itu melekat pada manusia-manusia Indonesia. Katanya, ”Masyarakat Indonesia pada dasarnya bukan masyarakat pemarah. Kalaupun muncul kekerasan, hal itu lebih disebabkan oleh akumulasi kekesalan dan reaksi terpendam yang berkepanjangan.”

Sosiolog Imam B Prasodjo juga berpandangan serupa. Dalam kasus kerusuhan antarsuporter sepak bola, misalnya, faktornya antara lain karena ketidakadilan dan kebobrokan yang telanjang di depan masyarakat, tetapi tidak ada upaya serius mengatasinya. Di sisi lain, secara kultural, masyarakat tidak dididik untuk berlapang dada menerima kekalahan dan mengakui keunggulan lawan.

Betul bahwa bahasa Indonesia memiliki kosa kata ”amuk” atau ”amok”, yang konon berurat-akar pada orang-orang Melayu serantau. Akan tetapi, sepertinya halnya kosa kata ”carok” yang melekat pada orang-orang Madura ataupun ungkapan ”siri” pada orang-orang Bugis, peristiwa ”amuk” atau ”amok” tidaklah berdiri sendiri. Di balik itu, ada situasi kultural yang memicunya, yang bila disederhanakan adalah semacam ketertekanan akibat diperlakukan tidak adil. Dalam konteks ini, semangat untuk mempertahankan harga diri adalah hal utama pemicunya, bukan semangat menghamba pada kekerasan itu sendiri.

”Tunjuk ajar” Melayu secara jelas memperlihatkan bahwa sifat pemaaf dan pemurah amat dimuliakan dalam kehidupan masyarakat Melayu. Sifat ini, kata budayawan Melayu ternama, Tenas Effedy, mencerminkan kesetiakawanan sosial yang tinggi sekaligus menggambarkan sifat rendah hati, ikhlas, tidak pendendam, bertenggang rasa, dan berbudi luhur.

Begitu banyak ”tunjuk ajar” dalam bentuk ungkapan, petuah, pantun, dan syair terkait sifat pemaaf dan pemurah dalam kehidupan masyarakat Melayu. Seperti pantun berikut://pasanglah kandil di halaman/api menyala terang benderang/orang yang adil teguh beriman/memberi maaf hatinya murah//. Atau untaian syair berikut://wahai ananda kekasih ibu/mengaku salah janganlah malu/memaafkan orang janganlah menunggu/hati pemurah menjauhkan seteru//. Juga ungkapan semacam ini://apa tanda Melayu terpuji/dendam mendendam pantang sekali/tangan pemurah suka memberi//.

Kalau segala sifat baik itu mulai tenggelam dalam keseharian hidup bermasyarakat, pasti ada sesuatu yang keliru pada pengelolaan bangsa ini. Euforia reformasi yang lebih menonjolkan sisi negatif perilaku anak-anak bangsa, antara lain ditandai munculnya konflik sosial di sejumlah tempat dalam berbagai tingkatan, seolah meniadakan semangat mulia yang terkandung dalam sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab!

Persoalan kultural

Barangkali, tiga tipologi kekerasan oleh negara selama masa Orde Baru, sebagaimana dikemukakan sosiolog Ignas Kleden (Menulis Politik: Indonesia sebagai Utopia, 2001), ikut berperan melahirkan bentuk-bentuk kekerasan di tingkat masyarakat saat ini. Kekerasan jenis pertama yang gampang diamati bersifat fisik, sementara tipologi kedua dalam wujud kekerasan struktural alias dominasi di semua lini kehidupan, serta jenis ketiga terkait kekerasan kultural.

Kekerasan fisik dengan semangat demi dan atas nama stabilitas nasional, baik secara politis maupun budaya, melahirkan bara kebencian pada individu-individu. Sementara dominasi atau kekerasan struktural telah melembagakan ketimpangan dalam pembagian hak, dan karena itu melanggar asas keadilan.

Adapun kekerasan kultural lebih menyangkut ketidakseimbangan—terjadi semacam hegemoni—dalam memproduksi makna. ”Selama Orde Baru, apa yang dikatakan oleh Presiden Soeharto tentang kebudayaan nasional, misalnya, dianggap lebih benar daripada apa pun yang ditulis seorang antropolog berdasarkan penelitiannya,” kata Ignas Kleden.

Selama Orde Baru, pemerintah memang punya sarana untuk menerapkan kekerasan-kekerasan tersebut. Akan tetapi, runtuhnya Orde Baru boleh dibilang mengakhiri hegemoni negara atas rakyat. Pada periode berikutnya, berbagai bentuk kekerasan baru muncul. Kali ini bukan kekerasan oleh negara terhadap masyarakat, melainkan dari dan oleh kelompok-kelompok masyarakat terhadap siapa saja.

Kekerasan komunal, misalnya, dalam pandangan Ignas Kleden, adalah reaksi yang muncul dalam bidang sosial-budaya, yang selama Orde Baru diremehkan sebagai faktor nonekonomi, di mana konflik-konfliknya dipetieskan oleh doktrin suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). ”Kekerasan komunal adalah semacam pembalasan terhadap hegemoni negara yang meremehkan nilai-nilai budaya, atau memanfaatkannya untuk tujuan kekuasaan,” jelas Ignas Kleden.

Mengakhiri tulisan ini, menarik mengutip penggalan pidato kebudayaan Mochtar Lubis (alm) di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, hampir 35 tahun lalu. Di bawah tajuk berjudul ”Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban”, Mochtar Lubis mengawali pidato yang banyak mendapat sambutan—pro dan kontra—itu dengan rangkaian kalimat retoris.

Katanya, ”Wajah lama itu sudah tak keruan di kaca, sedang wajah baru belum jua jelas. Siapakah itu orang atau manusia Indonesia? Apakah dia memang ada? Di mana dia? Seperti apa gerangan tampangnya?”

Terlepas dari itu semua, konflik-konflik sosial yang kini marak tidak seharusnya terjadi apabila kita memahami fondasi keindonesiaan kita: pluralisme dan multikulturalisme! (ken)

Interpretasi Data Statistik



kompascetak.com
Rabu, 11 Agustus 2010 | 02:50 WIB

Oleh Jousairi Hasbullah

Interpretasi data yang keliru akan menyebabkan keliru pula pemahaman dan kesimpulan tentang suatu persoalan. Masyarakat akan bingung. Perencanaan pembangunan yang dirancang juga akan salah arah dan kurang cerdas.

Terkait interpretasi data, cukup menggelitik membaca tulisan Rieke Diah Pitaloka (RDP) di Kompas (31/7) berjudul ”Impersonalisasi Kaum Papa”. Menurutnya, data kemiskinan BPS menyesatkan. Teknik pengukuran garis kemiskinan dari Susenas telah mereduksi pengertian kemiskinan sebagai degradasi kualitas hidup manusia secara nonkuantitatif dan personal.

Definisi bekerja yang digunakan BPS juga dipandang menyesatkan karena mengabaikan mereka yang berpendapatan rendah dan membutuhkan bantuan. Akibatnya, Jahra, penderita tumor ganas di mata kiri, mengalami kesulitan pengobatan karena namanya tidak tercantum di dalam data penerima Jamkesmas.

Kemiskinan dan pekerjaan

Data kemiskinan BPS yang oleh RDP dihubungkan dengan kasus Jahra cukup sulit dipahami bagaimana mengaitkannya secara langsung. Angka kemiskinan BPS, yaitu penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, adalah data kemiskinan makro yang bersifat agregatif, tidak dapat dan memang tidak ditujukan untuk menggambarkan kemiskinan orang per orang. Hampir tidak ada kaitan antara data makro Susenas yang diperoleh dari proses sampling survei yang diulas oleh RDP dan kasus individual yang dialami oleh Jahra. Ini mengindikasikan tantangan besar kita terkait bagaimana memahami data.

Mungkin yang dimaksud oleh penulisnya adalah data mikro jumlah penduduk miskin hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial tahun 2008 (PPLS 2008). Jika demikian, data jenis ini pun tidak seharusnya diterjemahkan sebagai satu-satunya rujukan. Jangankan dalam masa dua tahun, setiap semester data jumlah penduduk miskin akan mengalami perubahan di lapangan. Mereka yang semula dikategorikan sebagai miskin, dalam beberapa bulan dapat berubah menjadi tidak miskin atau sebaliknya.

Data PPLS 2008, yang sudah dua tahun usianya, yang dikumpulkan BPS, akan lebih ideal jika dipandang sebagai panduan awal yang memang diperlukan untuk mengeksekusi program bantuan. Di sisi lain, mereka yang tidak miskin, tetapi tengah mengalami kesulitan seperti penduduk cacat, anak-anak yatim dari keluarga sederhana, penduduk yang tertimpa musibah, atau mereka yang tiba-tiba mengalami kesulitan memang perlu dibantu.

Ini memerlukan semacam kebijakan khusus dari instansi pengelola program atau pemerintah daerah untuk dapat menambah ragam tipologi manusia sasaran dan kemungkinan menambah usulan anggaran. Jumlah populasi penduduk seperti ini idealnya dihitung dengan cara berbeda dari ukuran yang digunakan untuk menentukan kemiskinan.

Kemiskinan memiliki multidimensi dan sulit diukur. Karena kesulitan tersebut, dunia menggunakan ilmu statistik dengan batasan-batasan tertentu, yang umumnya didasarkan pada kemampuan seseorang memenuhi kebutuhan hidup yang paling dasar. BPS menghitung angka kemiskinan, makro dan mikro, atas dasar kebutuhan primer tersebut pada interval waktu tertentu dan tidak menggunakan ukuran di luar standar yang ada, termasuk tidak mengukur mereka yang dalam kategorisasi Amartya Sen sebagai yang tengah dililit kesulitan, apalagi kesulitan sesaat. Poverty tidak sama dengan difficulty atau sudden difficulty.

Ukuran terkait penduduk yang bekerja, yang dipersoalkan oleh RDP, dengan definisi minimal 1 jam dalam seminggu dan dilakukan secara berturut-turut juga bukan masalah. Statistik berkepentingan menunjukkan seberapa besar mereka)yanc bekerja d`ngan jam kerja yang paling rendah, dan pendekatan tersebut justru memperkaya pemahaman terhadap permasalahan ketenagakerjaan.

Upah dan jenis pekerjaan yang diklaim RDP sangat menentukan kemiskinan seseorang memang benar dan itu secara tidak langsung telah diperhitungkan. Sekumpulan variabel untuk mendapatkan angka kemiskinan individual pada PPLS 2008 telah merefleksikan pendapatan yang rendah, jenis pekerjaan serabutan, dan varian ketertinggalan pencapaian sosial ekonomi masyarakat Indonesia.

”Mutant Statistics”

Angka kemiskinan makro tidak dapat langsung dihubungkan dengan kasus orang per orang. Fokusnya berbeda. Di sini dirasakan, pemahaman kita terhadap data sangat diperlukan. Enrico Giovannini, Kepala Divisi Statistik Organisation for Economic Co-operation and Development, mengatakan, salah satu tantangan besar dunia sekarang ini bukan terletak pada kualitas data statistik resmi saja, melainkan semakin banyak kelompok di masyarakat, yang suaranya mendominasi opini publik, yang salah dalam menginterpretasikan data statistik.

Dalam sebuah artikel berjudul Statistics and Politics in a ”Knowledge Society”, Giovannini bahkan mengatakan: ”Data based on shaky methodology can be quoted in public debate as ’fact’. Even correct data can be incorrectly interpretated, resulted in what some call as ’mutant Statistics’” (interpretasi yang tidak sebenarnya dan dicampur dengan interpretasi personal). PBB melalui 10 fundamental principles of official statistics memberi peringatan kuat: ”The statistical agencies are entitled to comment on erroneous interpretation and misuse of statistics”.

Kita memahami kegundahan Rieke Diah Pitaloka, tetapi kita juga semakin memahami bahwa dibutuhkan rekonsiliasi besar antara BPS sebagai produsen data dan para pemerhati pembangunan untuk senantiasa meletakkan pemaknaan data pada tempat yang semestinya.

Jousairi Hasbullah Analis Statistik Sosial, Bekerja di BPS

Saturday 31 July 2010

सेमुआ बैक




"All is well....all is well"
Sebuah mantra yang diucapkan Rancho dalam film "3 idiot". Menarik sekali mantra ini karena berhasil membuat seorang bayi bergerak aktif menunjukkan tanda kehidupan setelah mengalami proses persalinan yang dramatis. Bukan sekedar itu saja, mantra itu juga dapat membuat perasaan galau menjadi tenang.

Bagian terakhir adalah hal yang sering aku alami dan cukup manusiawi aku pikir. Pernahkah anda merasa khawatir?
Pernahkah anda merasa sesuatu tidak berjalan sesuai dengan rencan anda?
Seakan anda tertekan untuk mencapainya tapi pada akhirnya tidak setitikpun tercapai?

Mungkin pernah atau pasti pernah? AKu tidak bisa menduga tentang bagaimana kisah kalian tapi kisahku pasti pernah. Dan sering sekali terjadi.

Biasanya respon yang kulakukan saat terjadi seperti itu adalah marah. Kemudian kesal. Lagi mulai melakukan sesuatu yang tidak seharusnya kulakukan. Mulai bersumpah serapah...Mulai mendongkol dan bahkan cenderung destruktif.

Tapi apa yang akan terjadi jika mencoba mantra itu? "All is well"...Semua baik...semua baik....
Kekuatan "mantra" ini adalah perasaan berserah penuh. Itu yang menjadi pelajaran berharga buatku dari "mantra" ini. Berserah penuh....Saat kau menyerahkan semuanya dengan penuh, tidak ada lagi dan tidak sepantasnya lagi si kekhawatiran itu hinggap di benakmu. Menyerahkan semuanya berarti semuanya sudah engkau percayakan.

,,,semua baik..semua baik..apa yang tlah Kau perbuat di dalam hidupku,,,

Wednesday 7 July 2010

Bekerja dari hati, dengan hati untuk ....



Do What You LOVE
By : Billy Boen
kick andyInilah topik di buku “Young On Top” yang paling mendapat perhatian dan dibahas diberbagai blog di internet. Ketika menulis buku ini, saya memang berusaha mengurutkan dari mulai apa karakter yang ‘paling mendasar’ yang harus dimiliki seseorang untuk sukses, sampai pada karakter apa yang juga sebaiknya dimiliki seseorang ketika dia mulai mendaki karirnya hingga ke puncak. Namun, tidak terbayangkan bahwa ternyata teori sederhana yang menjadi dasar penulisan chapter pertama buku ini di’iya’kan banyak pihak. Saya percaya bahwa, “Kalau kita suka dengan apa yang kita lakukan, kita akan berusaha semaksimal mungkin; kita ngga akan melihat rintangan sebagai suatu beban, tapi lebih merupakan suatu tantanganan yang akan kita hadapi dengan senang hati”.

Teman saya, Rene Suhardono yang selalu sharing diacara “career coach". Seseorang yang baru saya kenal secara personal di acara Kick Andy Off Air di Universitas Udayana bulan Desember 2009 lalu mengaku bahwa dia suka banget nyanyi. Nugie, begitulah namanya; juga lewat lagunya “Lentera Jiwa” menyampaikan pesan agar kita mencari tahu dan melakukan apa yang kita cintai. Orang tuanya adalah Pegawai Negeri, dan mereka berharap Nugie juga akan mengikuti jejak mereka. Kita semua tahu, Nugie bukan merupakan seorang Pegawai Negeri, tapi dia adalah seorang penyanyi sukses era sekarang ini.

Dari kecil saya sudah tahu mau jadi apa, saya beruntung. Kedua orang tua sayalah yang mengarahkan (bukan memaksakan) saya untuk menjadi saya seperti sekarang ini. Apa passion saya? Hmm,...saya suka brand management; mulai dari menciptakan, membesarkan, dan mempertahankan merek. Saya juga suka memimpin. Jadi, apakah sekarang ini saya di JIM dan Rolling Stone doing what I love? Jawabannya “Ya”.

Saya bertemu ratusan mahasiswa yang rata-rata bertanya, “Bagaimana cara untuk mencari tahu apa passion-nya?” Ada banyak orang yang lebih ahli dari saya untuk menjawab pertanyaan ini, tapi bagi saya simple aja; saya biasanya akan balik bertanya, “Apa makanan yang kamu suka, apa makanan yang kamu ngga suka?” Biasanya mereka yang ditanya demikian akan dengan mudahnya menjawab, “Saya suka masakan Padang, saya ngga suka pete” dan sebagainya.

Kenapa saya tanya demikian? Sebagai manusia, kita memiliki instinct yang akan ngasih tahu kita apa yang kita sukain dan apa yang ngga kita sukain. Instinct sendiri akan berkembang dan terasah dari waktu ke waktu, dari apa yang kita alami. Nah, passion sendiri adalah sebuah kata yang masih dianggap ‘tinggi’, jadi kalau boleh saya ‘rendahkan’ di sini, passion itu sebenarnya = sesuatu yang kita cintai.

Gini deh contoh sederhananya. Misal, waktu kamu SMA, kamu suka ngobrol di kelas, ngga canggung untuk ngomong di depan kelas, ngga takut untuk kenalan sama orang baru, sering berhasil ngajak teman untuk pergi bareng, dan sebagainya. Apa kira-kira jurusan yang bisa kamu ambil di kuliah yang sesuai dengan passion kamu? Mungkin jurusan Manajemen Pemasaran, Manajemen Komunikasi, Hubungan Masyarakat. Apa kira-kira karir yang bisa kamu ambil? Mungkin Sales, Marketing, PR...

Sekali lagi, contoh di atas adalah contoh sederhana. Tapi menurut saya, memang sesederhana itu koq untuk ‘mauin’ apa sebenernya passion kita. Buat kamu yang masih mau cari tahu apa passion kamu, coba deh merenung 5 menit. Tanya ke dirimu, apa yang kamu suka. Dari situ, coba sambungin ke pekerjaan yang kamu tahu; ada Sales, Marketing, Akunting, Penyanyi, Pelukis, Politik, Guru/Dosen, Psikologi, PR, Komunikasi, Keuangan, dll.

Daripada kamu mencoba 1,000 jenis pekerjaan satu per satu untuk mencari tahu kamu ‘cocoknya’ dimana dan buang waktu, mending kamu merenung dan benar-benar cari tahu apa yang kamu sukai dengan menanya ke dirimu sendiri, ukur kemampuan dirimu (kalau kurang mampu, belajar semaksimal mungkin; semakin kita belajar, semakin kita menjadi lebih baik...jadi jangan takut untuk ngga mampu melakukan apa yang kamu sukai), dan...just Do what you love!

Billy Boen
Chief Executive Officer – PT Jakarta International Management
Author & Host Radio Show “Young On Top”
www.twitter.com/youngontop
www.facebook.com/youngontop

Monday 24 May 2010

mencari...

Berjalan kugontai melintasi tempat ini
Aku ingat ini tempat apa
Seakan tidak ingin mengingat waktu secara format
Tapi aku ingat saat itu seperti apa

Waktu itu adalah waktu aku melihat itu senyum
Pesona keceriaan mengikat dan menjalin
Tidak sadar dan merasuk dalam ke relung jiwa

Hati berbisik…..
“Kenapa kau ada disini saat ini?”
Aku mencarinya…walau dia tidak mungkin ada hari ini
Aku menunggunya saat ini disini

Saturday 24 April 2010

Kita milik Tuhan, jangan pernah menghakimi karena penghakiman adalah milikNya

Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan.

Roma 14:1-12
14:1 Terimalah orang yang lemah imannya tanpa mempercakapkan pendapatnya.
14:2 Yang seorang yakin, bahwa ia boleh makan segala jenis makanan, tetapi orang yang lemah imannya hanya makan sayur-sayuran saja.
14:3 Siapa yang makan, janganlah menghina orang yang tidak makan, dan siapa yang tidak makan, janganlah menghakimi orang yang makan, sebab Allah telah menerima orang itu.
14:4 Siapakah kamu, sehingga kamu menghakimi hamba orang lain? Entahkah ia berdiri, entahkah ia jatuh, itu adalah urusan tuannya sendiri. Tetapi ia akan tetap berdiri, karena Tuhan berkuasa menjaga dia terus berdiri.
14:5 Yang seorang menganggap hari yang satu lebih penting dari pada hari yang lain, tetapi yang lain menganggap semua hari sama saja. Hendaklah setiap orang benar-benar yakin dalam hatinya sendiri.
14:6 Siapa yang berpegang pada suatu hari yang tertentu, ia melakukannya untuk Tuhan. Dan siapa makan, ia melakukannya untuk Tuhan, sebab ia mengucap syukur kepada Allah. Dan siapa tidak makan, ia melakukannya untuk Tuhan, dan ia juga mengucap syukur kepada Allah.
14:7 Sebab tidak ada seorangpun di antara kita yang hidup untuk dirinya sendiri, dan tidak ada seorangpun yang mati untuk dirinya sendiri.
14:8 Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan.
14:9 Sebab untuk itulah Kristus telah mati dan hidup kembali, supaya Ia menjadi Tuhan, baik atas orang-orang mati, maupun atas orang-orang hidup.
14:10 Tetapi engkau, mengapakah engkau menghakimi saudaramu? Atau mengapakah engkau menghina saudaramu? Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Allah.
14:11 Karena ada tertulis: "Demi Aku hidup, demikianlah firman Tuhan, semua orang akan bertekuk lutut di hadapan-Ku dan semua orang akan memuliakan Allah."
14:12 Demikianlah setiap orang di antara kita akan memberi pertanggungan jawab tentang dirinya sendiri kepada Allah.

Ssst! Tahukah Anda siapa-siapa saja di gereja atau persekutuan yang tidak rohani? Coba perhatikan cara berpakaian mereka, cara doa mereka, apa saja yang mereka makan. Psst! Kelompok persekutuan atau gereja mana saja yang tidak rohani? Tradisi ibadah apa saja yang tidak mereka turuti?

Ada berbagai isu yang oleh Alkitab tidak diberikan garis jelas, yang menyebabkan orang Kristen saling menghakimi. Dalam perikop ini Paulus mengacu pada dua isu, soal makanan (ayat 2) dan hari-hari khusus (ayat 5). Perbedaan pendapat muncul karena perbedaan latar belakang kelompok Kristen Yahudi dan bukan Yahudi. Daging yang dijual di tempat umum di kota-kota Romawi-Yunani dianggap tidak halal oleh orang Yahudi. Mungkin karena sudah dipersembahkan di kuil-kuil kafir. Maka orang Kristen Yahudi memiliki keberatan nurani untuk memakan daging. Terjadilah saling tuduh, yang makan daging merasa lebih kuat iman, yang tidak makan merasa lebih rohani. Pertikaian lain adalah di sekitar hari-hari raya. Meski sudah Kristen, orang asal Yahudi masih merayakan hari raya sesuai tradisi keyahudian mereka. Yang tidak berasal dari tradisi sama merasa tidak relevan merayakan hari raya tersebut. Maka terjadi lagi saling tuding. Kalau dibiarkan tentu tak baik bagi keutuhan gereja dan kesaksiannya!

Tentang hal-hal yang Alkitab tidak bicarakan dengan jelas, orang Kristen tak perlu saling menilai. Baik tentang makanan, hari raya, atau isu lain yang seringkali kita tidak sepakat sebab Alkitab tidak menyatakan dengan jelas. Kita harus berlapang dada untuk saling menerima. Bagaimana mempraktikkan sikap toleran ini. Pertama, masing-masing harus melakukan dengan hati yang yakin bukan dalam keraguan. Kedua, masing-masing melakukan dengan mengucap syukur kepada Tuhan. Apa pun perbuatan kita bukan untuk menyenangkan orang lain, tetapi untuk mensyukuri Allah. Ketiga, prinsip terpenting, semua orang harus hidup dalam tanggungjawab kepada Allah (ayat 12). Kita tidak berhak menilai! Jika kita menghakimi, kita mengambil posisi dan hak Allah!

sumber : http://www.sabda.org/publikasi/e-sh/2010/04/25/

Tuesday 13 April 2010

jangan pelit mengucapkan terima kasih

KOMPAS.com — Kadang kala hal-hal kecil justru membuat hubungan Anda dan pasangan makin erat. Misalnya saja saling mengucapkan terima kasih. Dengan mengucapkan terima kasih, rasa kepuasan kita kepada pasangan juga akan meningkat.

Ungkapan syukur dan terima kasih, bila disampaikan dengan tulus, akan meningkatkan kekuatan sebuah hubungan. Demikian menurut Nathaniel Lambert, pakar psikologi dalam jurnal Psychological Science.

"Saat kita mengekspresikan rasa terima kasih kepada seseorang, kita akan lebih fokus pada hal-hal baik yang telah dilakukan orang itu kepada kita. Hal ini akan membuat kita lebih fokus pada hal-hal positif dalam hubungan Anda dan dia," ujar Lambert.

Dalam penelitian yang dilakukan Lambert diketahui, mayoritas responden yang mengungkapkan rasa terima kasih mereka kepada orang terdekatnya merasa hubungannya menjadi lebih kuat. "Orang yang mendapat ungkapan terima kasih juga akan tergerak untuk melakukan hal yang sama," katanya.

Lambert menjelaskan, dalam kehidupan modern saat ini, kita cenderung berkutat dengan keuntungan pribadi. "Kita sering mencari-cari apa yang belum orang lakukan untuk kita. Di sinilah pentingnya ucapan terima kasih karena ia bisa mengubah fokus negatif menjadi positif," tuturnya.

Nah, bagaimana dengan Anda, apakah ucapan terima kasih sudah jadi barang langka dalam kehidupan dengan pasangan?

Friday 9 April 2010

tuntunlah aku


Pagi ini aku disuguhi dengan pemandangan menarik. Sebuah kota yang dahulunya bukit dan pegunungan sekarang sudah dikeruk dan sekarang sedikit datar. Kenapa sedikit datar karena kontur jalannya masih tetap saja naik turun lembah. Yang duduk di kursi penumpang saja lelah apalagi pengemudinya. Untung aku merasakan bagaimana mengemudi di daerah yang terkenal dengan wisata bahari dan ikan-ikannya.
Sudah cukup tentang kota ini, mari kita kembali ke pemandangan yang indah di padi ini. Aku beri tema "tangan yang mengharap tuntunan dan kerelaan menuntun."

Aku melihat seorang ibu menuntun anaknya. Hal yang biasa...Tentu saja, tapi bagaimana kalau kamu melihat dari atas? (Semoga karena bukan ke"lebay"anku...sesuai dengan kamus sekarang yah aku bisa menangkap rasa yang luar biasa disana.)

Tangan itu ingin dituntun dan dia bukan hanya menuntun tapi juga memandunya. Membimbing dan melindungi hingga sampai anak itu sampai pada tujuannya. Memang tujuan utama si ibu adalah untuk mengantarnya. (Pastilah yah...), tapi bagaimana dia melakukan itu dan karena apa, itulah menjadi titik yang membuatku tertarik. Aku rasakan keinginan dan totalitas si ibu dalam menuntun anak itu. Anak itu hanya tahu dia dituntun ibunya untuk pergi ke sekolah, tapi apa yang ibunya lakukan? Dia tidak hanya menunaikan tugas dan tanggung jawabnya tapi dia beri lebih. Dalam bahasa Marketing itu disebut added value. Ada nilai tambahnya saudara-saudara....Hehe

Inilah yang menjadi refleksiku hari ini. Mungkin dia sudah melakukan dan menunaikan tugasnya, tapi dia memberi benih kekekalan disana. Bagaimana dia sedang merajut relasi yang lebih dalam lagi untuk masa depannya dan keluarganya. Tanpa dia menyadari hal itu, mungkin saja dia tidak menuntun anaknya seperti itu.


Manado, 09 Maret 2010

Monday 5 April 2010

walau kau ragu kelak akan diberi kuasa

Apa yang membuat seorang yang ragu-ragu itu bisa menjadi percaya akan dirinya sendiri?
Apa yang membuat seorang penakut bisa tegar menghadapi setiap apa yang di depannya?
Apa yang membuat seorang yang khawatir menjadi lebih tenang menjalani kehidupannya?

Dua diantaranya adalah Kuasa dan Penyertaan. Tapi keduanya itu berdampak penuh jika keduanya itu berasal dari Allah semata.
Ketika murid-murid Yesus terguncang oleh karena kematianNya seakan iman dan pengharapan mereka hancur. Sosok yang mereka percaya, yang mereka ikuti,patuhi (walau terkadang dilawan) wafat dan mereka tidak dapat berbuat apa-apa.
Terkejut,panik, ragu-ragu pun melanda mereka.

Tapi kemudian Dia bangkit. Bukan hanya sekedar bangkit, Dia mau menemani mereka selama 40 hari. Dia masih mengingat janji penyertaanNya. Setelah itu DIa beri kuasa buat mereka. Mereka yang dahulu takut kini tidak lagi. Mereka yang dahulu khawatir bisa dengan tenang menjalani gelombang kehidupan mereka.

Karena kuasa dan penyertaan.

Jakarta, 6 April 2010




Sunday 4 April 2010

buktikan dengan adanya perubahan dalam hidup Anda

Matius 28:11-15
28:11
Ketika mereka di tengah jalan, datanglah beberapa orang dari penjaga itu ke kota dan memberitahukan segala yang terjadi itu kepada imam-imam kepala.
28:12
Dan sesudah berunding dengan tua-tua, mereka mengambil keputusan lalu memberikan sejumlah besar uang kepada serdadu-serdadu itu
28:13
dan berkata: "Kamu harus mengatakan, bahwa murid-murid-Nya datang malam-malam dan mencuri-Nya ketika kamu sedang tidur.
28:14
Dan apabila hal ini kedengaran oleh wali negeri, kami akan berbicara dengan dia, sehingga kamu tidak beroleh kesulitan apa-apa."
28:15
Mereka menerima uang itu dan berbuat seperti yang dipesankan kepada mereka. Dan ceritera ini tersiar di antara orang Yahudi sampai sekarang ini.



Apa reaksi orang saat mendengar berita kebangkitan Tuhan Yesus? Para perempuan yang mendengar berita tersebut dari seorang malaikat segera pergi dan menyaksikannya kepada para murid lainnya. Bagi mereka berita ini adalah kabar baik. Mereka harus merespons dengan sukacita dan bergiat memberitakan Injil kepada semua orang.

Sangat berbeda dengan para imam yang mendengarkan hal tersebut dari para serdadu yang menjaga di kubur Yesus. Mereka justru menyuap penjaga-penjaga tersebut agar menutup mulut. Bahkan mereka meminta para penjaga itu menyerbarluaskan gosip bahwa mayat Yesus dicuri oleh para murid-Nya. Dalam kebencian mereka akan Yesus, para pemimpin agama ini telah membutakan mata rohani mereka terhadap fakta yang sudah terpampang di depan mata. Segala cara mereka gunakan untuk membungkam kebenaran, tetapi dengan tipu daya, kebohongan, dan sogokan!

Sungguh disayangkan, para serdadu yang menyaksikan kedahsyatan kebangkitan itu mau saja disuap untuk memutarbalikkan fakta kebenaran. Padahal pengalaman mereka menyaksikan mukjizat kebangkitan Yesus seharusnya membuat mereka merespons kebenaran dengan menerimanya. Ternyata belenggu materialisme membuat pengalaman ajaib mereka tidak berarti apa-apa. Mereka pun menyebarkan kabar bohong bahwa Yesus tidak bangkit!

Bagaimana pun respons banyak orang adalah menolak untuk percaya bahkan berupaya merekayasa kebenaran palsu, padahal kebenaran sejati tidak mungkin ditutupi. Orang-orang yang sengaja menolak kebenaran dan bahkan memalsukan kebenaran untuk kepentingan diri sendiri, satu kali kelak akan menerima pembalasan setimpal.

Marilah kita menjadi saksi kebenaran yang tidak mudah disogok dan diajak kompromi dengan dosa. Setialah kepada Tuhan yang sudah bangkit dan menang melawan kuasa dosa. Beritakan kabar baik ini dan buktikan dengan adanya perubahan dalam hidup Anda.

sumber : Santapan Harian, Senin, 05 April 2010




Saturday 20 March 2010

Yang seharusnya


Dalam batak, ada beberapa kata yang artinya sama tapi berbeda penggunaannya. Bisa karena maknanya halus dan kasar atau juga berdasarkan apakah itu kata yang seharusnya atau tidak.
Ada kata-kata yang sangat menggelitikku untuk aku terapkan dalam kehidupanku yang pernah aku dengarkan melalui perbincangan antara seorang Sintua [sintua : penatua gereja.red] dengan seorang pendeta. Aku masih ingat perbincangan itu karena dampak dari obrolan santai itu aku mendapat pencerahan baru dan bertekad untuk menerapkannya dalam kehidupanku.
Pendeta : “Asing do ate. Adong do muse halak manjou among tu bapana. I Jakarta on do muse.”
(Aneh yah. Masih ada aja orang yang memanggil bapaknya dengan sebutan among. Di Jakarta pula.)
Sintua : “Sian geleng do huajarhon i. Alana nga godang manjou au Amang. Tarlumobi I gareja ala hasintuaonki. Alai molo iannakhonhu, ingkon manjou Among do tu au. Asa tanda halakki iannanghonku.”
(Dari kecil aku udah mengajarkan itu. Karena sudah banyak yang memanggil aku Amang. Terutama kalau di gereja karena pelayananku. Tapi untuk anak-anakkku, mereka harus memanggil saya Among. Biar orang-orang tahu kalau mereka anakku.)
Sebuah percakapan yang membawaku kepada sebuah pemahaman lebih tentang Amang dan Among. Aku tak pernah mengerti akan hal itu sebelumnya. Tapi makna kata-kata itu ternyata berbeda. Malahan membakar tekadku untuk menerapkannya untuk Mamaku.
“Aku mau memanggil Mamaku dengan Inong.” Rasa kekeluargaan lebih kental kalau memakai kata itu. Agak janggal karena memang aku dan Mamaku tidak pernah menggunakannya, tapi memang itu yang seharusnya aku gunakan untuk sapaanku kepadanya.

21 Maret 2010
*
Aku dedikasikan tulisan ini untuk mengenang Amongku yang sudah meninggal 3 tahun yang lalu tanpa pernah mendengar aku memanggil dia Among, untuk Inongku yang sudah mendengar kata “Inong” dan agak sedikit kaget dan terakhir untuk Amang St. O. Gultom yang sudah dipanggil Bapa ke rumah Abadi.




Friday 19 March 2010

Maukah kau?


Aku sedang berdiri disini
Dan masih tetap disini
dan mungkin akan tetap disini
untuk beberapa saat lagi

bukan untuk melihat
atau untuk menerawang Al Hayat
hanya untuk berdiri dan melayat
tapi takkan menjadi mayat

hanya untuk berdiri
melayat tempat abadi
hanya untuk ada disini
diam sendiri




Thursday 18 March 2010

Yang Terbaring Lemah Menjelang Pesta

Seharusnya ini menjadi perhelatan yang meriah. Dua pekan lagi, Taman Ismail Marzuki menjadi tuan rumah perhelatan kecil untuk sebuah peringatan. Ulang tahun seorang tokoh sastra Tanah Air, Pramoedya Ananta Toer. Namun, sejak beberapa pekan belakangan, tokoh yang berkali-kali masuk nominasi penerima Hadiah Nobel Sastra ini tengah terbaring sakit di rumahnya di kawasan Bojong Gede, Bogor.

Berkereta api dari Jakarta, menumpang ojek, dan berkali-kali bertanya alamat rumah Pram, Koran Tempo akhirnya menemukan rumah sastrawan yang dikenal dengan tetralogi Pulau Burunya ini. "Rumah paling besar dengan tembok kuning dan pagar biru," kata orang-orang di sekitar kompleks perumahan Pram.

Ketika berkunjung di siang pengujung Sabtu silam, rumah Pram tampak lengang. Pagar rumahnya tidak terkunci. Ayunan di halaman yang luas bergoyang ditiup angin. Sementara itu, di sebelah kanan gerbang tampak kolam renang, di sebelahnya sebuah kolam ikan dengan tanaman terapung yang menambah sejuk pemandangan.

Siang itu, Pram tengah beristirahat di kamarnya. Tidurnya tampak tenang, menelungkup dengan kedua tangan melengkung di depan kepala. Pram tidur mengenakan kaus putih, celana training warna krem, kaus kaki putih, sarung tangan putih, dan jam tangan melingkar di pergelangan kirinya. Sandal kulit hitam terletak di ujung karpet.

"Beginilah keadaan Bapak," kata Maemunah, istri Pram, yang saat itu tengah sibuk di dapur bersama putri kelimanya, Rina. Beberapa mahasiswa dari Universitas Indonesia pamit pulang setelah mengurus perpustakaan Pram.

Menurut Maemunah, penulis Eka Budianta baru saja pulang setelah menginap. "Pak Eka sering memberikan pohon untuk ditanam di kebun," katanya. Ia juga memberi potongan marmer untuk diberi grafis nama tanaman dalam bahasa Latin. "Untuk dipasang di depan pohon."

Belakangan ini kondisi Pram mulai membaik, meski keluhan utamanya tetap pada jantungnya. "Bapak sering tidak bisa bernapas," kata Maemunah. Jika sesak, Pram menggunakan tabung oksigen. Meski tidak seharusnya merokok, penerima penghargaan Freedom to Write Award dari organisasi penulis PEN ini tak bisa menghentikan kebiasaannya itu.

Meski dalam kondisi sakit, dorongan menulisnya tak pernah surut. Ia masih menggerakkan jari jemarinya untuk mengabadikan pemikirannya dalam bentuk tulisan. Kalaupun tidak, ia tak lepas dari kegiatan yang berhubungan dengan tulis-menulis. "Mengkliping koran untuk ensiklopedi," kata sang istri.

Sejak sakit, menurut Maemunah, Pram sukar sekali makan. Toh, ia sempat meminta dibuatkan rendang, meski sudah lama tidak makan daging merah. Selain daging, penyakit diabetes melitus yang diidapnya membuat dokter melarangnya makan nasi, terutama karena pernah mencapai kadar gula hingga 600. Tak aneh jika Pram hanya kerap menyantap sayur dan ikan. Untuk minuman, Maemunah menyediakan air jeruk peras. "Bapak senang sekali, bisa sampai satu-dua dos sehari," ujarnya.

Jika sedang tidak ada keluhan, laki-laki yang pernah dibuang ke Pulau Buru selama 14 tahun ini berjalan-jalan ke Jakarta. Biasanya naik mobil. "Bapak selalu tertidur kalau naik mobil. Padahal kalau di rumah keluhannya susah tidur," kata Maemunah.

Pada Idul Adha lalu, Pram juga kedatangan banyak tamu. "Hari itu Bapak kelihatan senang sekali dan banyak mengobrol," ujar istrinya. Kalau sudah senang, Pram bisa betah duduk berjam-jam.

Saat sakit begini, Maemunah banyak menerima telepon yang menanyakan kabar Pram, baik itu dari sesama penulis maupun dari berbagai media massa. Maklum, sejak sakit, Pram hanya bersedia dirawat di rumah. Dokter biasanya datang berkunjung untuk melihat kondisi pria kelahiran 5 Februari 1925 di Blora, Jawa Tengah, ini. Baru setelah kondisinya agak berat, istrinya akan membawa ke Pelayanan Kesehatan St. Carolus.

Sebelum terbaring sakit saat ini, sastrawan yang telah melahirkan 40 karya fiksi dan dokumenter ini memang sudah bolak-balik ke rumah sakit. Selain penyakit gula, laki-laki yang rajin menyantap bawang putih dan penyuka anggur ini juga kerap mengeluhkan jantungnya.

Dalam suatu kesempatan, penulis Gadis Pantai, Calon Arang, dan Cerita dari Blora ini pernah mengatakan bahwa kondisi kesehatannya terus memburuk akibat penahanan di Pulau Buru pada masa mudanya dulu.

Sebelum jatuh sakit, Pram sempat menelurkan sebuah cerita sejarah berjudul Jalan Raya Pos, yang berkisah tentang sejarah pembangunan dan situasi di sepanjang jalan raya Daendels, yang diterbitkan pada Oktober 2005. OLIVIA K SINAGA/ANGELA

Thursday 11 March 2010

memanjakan angan


Sejenak aku terdiam dan menghela nafas sejenak di kota ini. Kota yang dari aku kecil terkenal dengan daerah tujuan para pemuda-pemudi daerahku untuk merantau selain kota Jakarta. Daerah ini terkenal dengan industri dan segala jenis pekerjaan yang bisa memberikan angan kepada seorang manusia untuk bisa tetap hidup bertahan agak sedikit lama jika tinggal di kota ini.
Tak ada yang tahu dan tak ada yang menjamin. Ingin rasanya aku menulusuri kenapa dulu sewaktu aku kecil (dan mungkin sampai sekarang), masih banyak yang meletakkan angannya untuk sampai di kota ini. Yah...sampai sekarangpun masih. *dengan rasa penuh percaya diri karena aku melihat ada beberapa teman yang memang sengaja pergi kesini untuk mencari pekerjaan.
Sambil mulai melayangkan pandangku ke semua penjuru mata angin (ingin rasanya tidak melewatkan kesempatan ini), aku mulai mencari alasan mulia yang sudah usang itu. Kotanya penuh bukit, mungkin hampir mirip dengan bukit uang yang ditawarkan daerah ini. Kenapa bukit uang?Karena menurut analisis kondisi yang tidak terlalu tajam setajam pisau silet, banyak bisnis hiburan disini. Apa relevansi hiburan dengan bukit uang? Kalau banyak bisnis hiburan, berarti para pekerja dan industri banyak disini. Untuk mengendurkan kepenatan mereka, muncullah alat bisnis hiburan. (logis khan :) )
Yang kedua menurutku, penyimpangan banyak terjadi disini. Contohnya adalah deviasi yang tinggi mengenai kesejahteraan. Banyak kalangan bawah dan banyak kalangan atas. Yang menengah pada kemana? Apakah ikut tergerus ke bawah karena kuatnya tekanan atau malah terangkat ke atas bersamaan dengan elevator materi yang sangat banyak disini.
Angan itu dihembuskan pelan, lembut dan sangat eksotik, seeksotik kota ini yang menawarkan semua jenis hiburan.
Ternyata dari sekian banyak penyimpangan semuanya mengarah kepada penyimpangan fokus. Ternyata mungkin saja benar setiap angan itu, tapi apakah semuanya masih bisa kau kejar dengan cara yang benar dan menghasilkan sebuah titik api yang benar?
Jangan engkau terlalu memanjakan anganmu. Karena jika dia sudah berulah, titik apimu akan tidak akan menyala. Bahkan mati walau hanya tertiup angin musim barat itu….

12 Maret 2010,
Bandara Hang Nadim

Tuesday 9 March 2010

kembali menulis




Menulis bagian dari keseharianku

Mulai menulis di pagi hari (saat teduh….itu juga klo inget), menulis di kantor..(ini mah kerjaan) dan menulis hidup ini

Yang terakhir memang agak sulit

Mencoba setia untuk tetap menulis adalah hal yang rumit. Bukan karena menulis itu susah. Tapi, karena memang dorongan di jiwa yang berawal dari pikiran, terdorong ke otak, kemudian secara bertahap mendorong imajinasi dan motorik di tangan untuk menulis.

Pena yang dipakai untuk menulis hidup di kehidupan ini juga bukan pena yang biasa aku pakai untuk menuliskan di buku. Tapi, mencoba memakai segenap tubuh, jiwa dan raga untuk menulis.

Yang menjadi perhatian adalah mencoba mengikuti pena Allah dalam kehidupan ini. Apakah tanganNya sesuai dengan tubuhku untuk menggoreskan sesuatu?

Ingin rasanya lepas mengikuti indahnya gerakan tanganNya, tapi memang tubuh ini selalu membangkang….

Thursday 4 February 2010

Bergerak atau beranjak,kenapa?


Mungkin berpikir untuk berlari
Tapi saat ini aku lelah
Tidak ingin rasanya aku mengeluarkan tenaga lebih untuk itu

Mungkin berpikir untuk beranjak dan bergeser
Tapi….Nanti dulu
Biarkan aku menghela nafas kembali

Saat semua sudah terkuak
Hati ini terbakar dan menjadi kuat
Meletakkan diri di bara
Agar jangan aku sendiri yang menggerakkan diri
Tapi biarlah suluh kecil itu yang memaksaku untuk bergerak

count your blessing