Monday 28 April 2008

bagian merawat itu susah



Ternysta merawat itu bagian yg paling susah ...

sewaktu main ke muara angke, disana ada sebuah pantai yang ga tau apakah itu benar2 pantai

aku kaget awalnya...pantai koq kaya gini...bayangkanku sebagai orang "gunung",pantai itu gimana gitu...ternyata pantai disini kacau abis...

tidak terawat

padahal potensi untuk dijadikan pusat pertemuan supply dan demand para penjaja ikan.

memang bagian dari perawatan itu yg paling susah...bukan sekedar merawat...tapi juga memelihara.....apakah emang etos kita seperti itu?

Friday 25 April 2008

striker buruk

sudah hampir 2 tahun maen bola di kantor tapi cetak golnya ga pernah
kacau khan....striker tanpa gol.......parah bange
teman sekantor bilang "striker mandul"...
tapi tak apalah
sebagai pemcau semangat aja
tapi, aku ga pernah nyetak golnya hanya di pertandingan2 besar saja
klo di pertandingan kecil...wah...subur.......hehehehe(bener ga yah....)
suatu ketika aku diajakin maen bola lagi
ada liga neh di kantor
kali ini aku harus nyetak gol
dari awal dah disugesti sendiri klo hari ini aku bakal nyetak gol (sok-sok nerapin metoda NLP:)
dan kahirnya eh, akhirnya......'GOLLLLLLLLLLLLLL"
nyetak gol juga euy......hampir 2 tahun, hari ini aku nyetak gol.....seru juga........walau cuman satu tapi itu penyemangat buat teman2 dan akhirnya jadi 3-1. Aku gol pembuka....
jadi inget dulu waktu jaman2 SMA di Sidikalang, klo lagi menang sambil nyanyi lagu "PADI" yang judulnya Kasih tak sampai......Wah, kebayang g?
yang liriknya..."tetaplah menjadi bintang di langit"....tapi liriknya diubah
"tetaplah menjadi bintang lapangaaaaaaaaaaaaaaaaaaannnnnnnnnnn......"hehehe
walau karier striker ga bagus, tapi aku bukan striker buruk:)

pelajaran hari ini :
motivasi diri sendiri untuk tetap berkembang

peganglah apa yang ada

Kemaren ada sermon di gereja.
Sermon pemuda HKBP Cakung....Makin lama kayanya makin sedikit anak-anaknya.
Ada apa yh?Mungkin karena udah ga bersemangat lagi kale yh....what everlah....
kami membahas tentang "memegang apa yang ada, agar mahkota kita tidak lepas"
sepertinya ada kontrakdiksi pada firman ini
koq tidak dikatakan "memegang mahkota agar mahkota kita ga lepas" yh?
dalam pemahamanku ternyata memang apa yg ada dalam diri kita itu terbatas
Allah tahu kita ini terbatas
tapi kesetiaan dalam menaati dan berusaha untuk tidak menyangkal Dia akan mengubah "yang ada" itu menjadi "mahkota"
klo disejajarkan dengan pengharapan, itulah pengharapan itu....
pengharapan itu akan apa yang melampaui apa yang ada sejak awal tentunya
berharap itu dalam interval waktu dimana harapan itu belum terealisasi
atau dengan kata lain: "menunggu"
dalam proses menunggu itulah apa kita masih taat atau masih berjuang untuk itu
klo dipikir-pikir relevansinya apa sama sermon yang makin lama "penduduk"nya makin sedikit yh?
mungkin karena kaminya juga yh.....

Monday 21 April 2008

Pelihara suluh pantai walau hanya k'lip kelap


Sebuah lagu yang menyemangatiku di saat2 mengingat tubuh yg lemah
dan semangat yg hanya "klip klap" ini
.....................................................................................................................
Mercu Suar Kasih Bapa(Nyanyikanlah Kidung Baru 206)
"Hendaklah ... pelitamu tetap bernyala" (Lukas 12:35)

(1)
Mercu suar kasih Bapa memancarkan sinarNya.
Namun suluh yang dipantai,kitalah penjaganya.
Reff:
Pelihara suluh pantai walau hanya k'lip kelap.
Agar tiada orang hilang di lautan yang gelap.

(2)
Malam dosa sudah turun,ombak dahsyat menyerang.
Banyaklah pelaut mengharap sinar suluh yang terang.

(3)
Peliharalah suluhmu, agar orang yang cemas,
yang mencari pelabuhan,dari mara terlepas.


--------------------------------------------------------------------------------
Syair dan lagu: Let the Lower Lights Be Burning, Philip P.Bliss (1838-1876), terj. E.L. Pohan (1917-1993)
Sejarah Lagu "Mari Barangsiapa Mau"Syair : Whosoever Will May Come, "philip P. Bliss, 1869. Wahyu 22:17.
Lagu : WHOSOEVER, Philip P. Bliss, 1869.


Pada umur sepuluh tahun, Philip P. Bliss belum pernah melihat sebuah piano.
Mungkin Saudara heran atas kalimat itu: Bukankah siapa saja telah melihat sebuah piano serta mendengar bunyinya?
Bagi penduduk kota, mungkin benar. Tetapi banyak rakyat Indonesia yang belum pernah melihat sebuah piano. Demikian juga dengan si Philip. Walaupun ia sudah mendengar ibunya bercerita tentang alat musik besar yang disebut piano, namun ia sendiri belum pernah melihatnya ataupun mendengar bunyinya.

Anak yang Miskin
Philip P. Bliss lahir pada tahun 1838 di sebuah pondok kayu, di daerah pertanian yang agak terpencil, negara bagian Pennsylvania, Amerika Serikat. Keluarganya miskin sekali. Mereka bekerja keras, namun masih sering kekurangan.
Walaupun demikian, keluarga Bliss itu amat suka akan musik. Sering mereka bernyanyi bersama-sama. Pada waktu ayahnya menyadari bahwa si Philip memiliki kegemaran akan musik yang melebihi yang lainnya, ia pergi ke rawa dan memotong sebatang buluh. Dengan pisau raut ia mengukir sebuah suling kasar untuk putranya yang masih kecil.
Philip senang sekali meniup sulingnya. Ia pun mulai menyimpan uangnya yang sangat sedikit, dengan harapan bahwa pada suatu waktu kelak ia akan dapat membeli sebuah biola yang murah.

Musik yang Indah
Ketika si Philip berumur sepuluh tahun, timbullah dalam benaknya akal yang baik. la pergi sekeliling rawa-rawa dan memetik semacam murbei liar yang tumbuh di situ. Ketika keranjangnya penuh, ia pun berjalan kaki melalui jalan yang panas dan berdebu, menuju ke kota. Pakaiannya compang camping, kakinya telanjang. Kian kemari ia menyusuri lorong dan jalan kota, sambil menjajakan buah dagangannya itu. Siapa tahu, mungkin akhirnya ia akan mempunyai cukup banyak uang untuk pembeli sebuah biola.
Tiba-tiba anak laki-laki itu berhenti. Sayup-sayup terdengar musik yang indah sekali...musik yang belum pernah didengarnya. Apakah gerangan itu bunyi piano, alat musik besar yang telah diceritakan oleh ibunya?
Selangkah demi selangkah ia berjalan lebih dekat. Sampailah dia di serambi muka rumah sumber suara yang indah itu. Philip meletakkan keranjang buahnya di lantai. Dengan malu-malu ia pun mendekat lagi.
Pintu rumah itu kebetulan terbuka. Dengan menahan nafasnya, anak petani yang gemar akan musik itu masuk dan berdiri terpaku, mendengar not-not yang begitu indah.
Tiba-tiba wanita yang sedang memainkan piano itu melihat dia. Secara mendadak ia membanting jarinya ke atas tuts piano dengan bunyi yang keras dan janggal. Ia menatap anak laki-laki yang kotor, berpakaian jelek, yang sedang berdiri di pintunya.
Philip Bliss mengeluh dengan kerinduan: "Maaf, silakan nyonya main terus. Belum pernah kudengar musik yang seindah itu."
"Tidak!" bentak wanita itu. "Apa maksudmu, diam-diam masuk ke mari, he? Lihat, bekas kakimu mengotori serambiku. Ayo, pergi!"
Dengan sedih si Philip mengambil keranjangnya dan pergi. Seandainya diizinkan, tentu ia akan berdiri tenang di situ sepanjang hari, asal saja ia dapat mendengar terus suara piano.

Petani Merangkap Pendidik
Pada umur sebelas tahun, Philip Bliss sudah keluar dari rumah ibu bapaknya untuk mencari nafkah sendiri. Ia menjadi seorang buruh di perkebunan, lalu di kehutanan dan di penggergajian kayu.
Sekali-sekali anak yang pandai itu diberi izin pergi ke sekolah untuk sementara waktu. Kesempatan seperti itu selalu disambutnya dengan gembira, juga kalau ada kesempatan pergi ke gereja.
Pada umur duabelas tahun Philip mengaku percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Ia pun dibaptiskan atas dasar imannya itu.
Ketika ia hanya mencapai umur 18 tahun, Philip Bliss dianggap sudah cukup terpelajar, meski bersekolah secara terputus-putus, sehingga ia sanggup menerima jabatan sebagai guru sekolah desa. Tugas mengajar itu hanya selama musim salju saja; kalau dalam pergantian musim datang lagi cuaca yang baik, terpaksa dia menambah penghasilannya yang sedikit, dengan bekerja keras di ladang.

Nenek yang Baik Hati
Pada umur 20 tahun, Philip Bliss mulai berkenalan dengan seorang gadis dari sebuah keluarga di daerah pertanian tempat ia menjadi guru. Baik Lucy Young maupun keluarganya menyukai pemuda yang rajin itu. Mereka pun suka akan musik, sama seperti Philip sendiri; jadi, mereka mendorong dia untuk memperkembangkan bakatnya.
Pada tahun 1859 Philip Bliss menikah dengan Lucy Young. Selanjutnya suami yang baru berumur 21 tahun itu bekerja di perkebunan milik bapak mertuanya.
Lalu ia mendengar bahwa ada kursus musik yang ditawarkan kepada para peminat. Tempat penyelenggaraannya tidak jauh dari rumah keluarga Young dan keluarga Bliss. Tetapi soalnya, keuangan Philip Bliss masih terbatas, sehingga tak mungkin ia mendaftarkan diri untuk kursus tersebut.
Ketika ia insaf akan hal itu, Philip merasa kecewa dan kesal hati. Ia masuk ke dalam rumah dan merebahkan diri pada sebuah balai-balai. Sudah nasib, seumur hidup ia hanya akan sempat menjadi seorang petani dan guru sekolah desa saja.
Kebetulan nenek istrinya melihat Philip dalam keadaan putus asa itu. Wanita yang sudah lanjut usianya itu menanyakan apa sebabnya. Ia diberitahu bahwa paling sedikit 30 dolar diperlukan, jika Philip akan memanfaatkan kesempatan yang luar biasa itu.
"Astaga, 30 dolar 'kan banyak sekali!" kata nenek itu. "Tetapi nenek punya kaus kaki bekas yang sudah lama dipakai sebagai tempat tabungan. Coba lihat, andaikan ada sebanyak 30 dolar di dalamnya ... ya, ambillah saja!"
Dengan bantuan dan dorongan yang tak diharapkan itu, Philip Bliss jadi pergi. Bukan hanya kursus musik itu saja, melainkan juga kursus-kursus lainnya yang serupa ia hadiri, sehingga kecakapannya di bidang musik semakin berkembang.

Kuda Tua dan Orgel Kecil
Pada tahun 1860 Philip Bliss sudah merasa siap memulai suatu karier baru, yaitu sebagai guru musik yang berkelana. Berkat bantuan keluarga istrinya, ia memiliki seekor kuda betina yang sudah tua, dan sebuah orgel lipat kecil yang murah. Pergilah dia berkeliling, sambil mengajar banyak murid tentang dasar seni musik.
Sementara itu, Philip Bliss masih tetap menggunakan tiap kesempatan untuk meningkatkan keahliannya sendiri. Lambat laun ia pun mulai mengarang musik. Pada tahun 1864 ia memberanikan diri mengirim sebuah lagu romantis hasil karyanya kepada sebuah penerbit besar. Permintaannya, andaikan karangan itu diterima, adalah lain daripada yang lain. Ia minta bukan uang, melainkan sebatang suling yang bagus.
Seorang redaktur menerima lagu yang disertai permohonan aneh itu. Kemudian sebatang suling memang dikirim kepada pencipta lagu tersebut. Tetapi lebih daripada itu, menyusullah suatu tawaran agar Philip Bliss menerima jabatan tetap di kantor penerbit musik itu.
Maka nama Philip P. Bliss menjadi tenar. Ia lalu mulai menggubah lagu-lagu rohani. Ia pun mulai memimpin nyanyian sidang dalam kampanye penginjilan raksasa, seperti yang diselenggarakan masa kini oleh Dr. Billy Graham dan orang-orang lain.
Philip Bliss berperawakan tinggi dan tampan. Suaranya merdu sekali. Sering dalam kampanye besar-besaran ia pun memperkenalkan kepada orang banyak sebuah nyanyian pujian yang baru saja dikarangnya sendiri.
Maka ia menjadi terkenal. Uang hasil penjualan lagu-lagunya masuk terus. Ia dengan istrinya dan anak-anak mereka dapat hidup senang. Namun Philip Bliss tidaklah mementingkan kekayaan atau kenamaan. Makin lama makin giat dia melayani Tuhan Yesus, sehingga ia menjadi salah seorang penyanyi injili yang paling disayangi oleh umat Kristen pada masanya.

Pengaruh Tujuh Khotbah
Akhir cerita yang dahsyat dari riwayat Philip dan Lucy Bliss itu diceritakan pada pasal 14 dari JILID 2 dalam seri buku ini: Kedua-duanya meninggal seketika dalam suatu kecelakaan kereta api pada tahun 1876.
Sungguh menyedihkan, bahwa karier Philip Bliss terhenti pada waktu ia baru berumur 38 tahun saja. Namun ia seolah-olah masih hidup juga, melalui banyak lagu injili yang kini dinyanyikan di seluruh dunia.
Semasa hidupnya, Philip Bliss sering mendapatkan buah pikiran untuk karangannya dari bacaan Alkitab dan lukisan khotbah yang didengarnya dalam kampanye penginjilan. Misalnya, lihat saja lagu yang tertera di halaman 77. Perhatikanlah kata-kata yang ditutup dalam tanda kutip: "Barangsiapa mendengar," dan "Mari barangsiapa mau." Kata-kata itu memang dikutip dari Wahyu 22:17.
Ada juga pengaruh lainnya dalam penciptaan "Lagu bagi Siapa Saja" itu. Pada tahun 1869-1870, datang ke Amerika seorang pengkhotbah muda yang terkenal di Inggris, tanah airnya. Ia pun ingin menggantikan pengkhotbah tersohor Dwight L. Moody, selama satu minggu di kota Chicago. D. L. Moody agak segan, tetapi akhirnya ia setuju.
Anehnya, pengkhotbah muda dari Inggris itu menggunakan nas khotbah yang sama selama tujuh malam berturut-turut. Ayat yang diulang-ulanginya yaitu: Yohanes 3:16.
Tujuh khotbah yang didengar oleh banyak orang itu sangat mempengaruhi baik Dwight L. Moody maupun Philip P. Bliss. Segera terciptalah "Lagu bagi Siapa Saja," yang berkisar pada pokok yang sama seperti yang ditekankan dalam Yohanes 3:16.
Mungkin juga Philip Bliss masih ingat akan pengalamannya sendiri sewaktu ia masih kanak-kanak...ketika wanita yang kurang ramah itu mengusir dia dari rumahnya. Pemain piano yang sombong itu tidak mau menerima seorang anak kecil yang miskin, berpakaian compang camping, kakinya kotor tak bersepatu, walau anak itu membujuk dia dengan sangat agar terus memperdengarkan musik yang indah.
Alangkah bedanya Tuhan Yesus! Ia rela menyambut siapa saja yang bertobat dan percaya. Berita Baik itulah yang berkumandang terus dalam nyanyian pujian hasil karya Philip P. Bliss.

Author : H.L. Cermat
Sumber : Riwayat Lagu Pilihan dari Nyanyian Pujian, Jilid 1® Lembaga Literatur Baptis

Bangunan Penjaraku sendiri

Ah…tiap kali aku selalu jatuh dalam dosa yang sama. Itu…itu…dan itu lagi. Belum…belum cukup hanya sampai disitu. Tapi, itu…itu…dan itu saja. Kapan kemenangan itu akan menghampiriku? Kapan gendering perang itu akan berakhir dengan penuh ucapan kegembiraan yang membahana? Sekali? Dua kali. Dulu itu memang terjadi. Tapi sekarang? Sesampainya aku dalam medan pertembpuran, di saat pasukan musuh menhampiriku, senjatanya yang tajam menusukku, aku bisa melawan. Tapi, di saat angin kesegaran akan kehadiran kemenangan yang didepan mata hendak menjemputku, di saat itu aku buyar. Kacau. Lepas dan terburai…Menjadi serpihan yang hanya menyisakan benda padat untuk bisa dengan cepat dihembuskan.
Aku berharap aku bisa menjadi serpihan padat itu. Jika datang angin timur, aku bisa dibawa dan dihembuskannya meninggalkan arena perang itu. Tapi tidak. Keinginanku untuk bisa cepat pergi dari dunia perang itu tidak terwujud. Bagaikan dikumpulkan kembali, disusun dan direkatkan, aku dipaksa untuk bertarung kembali.
Ternyata hingga saat ini, aku sadar. Aku bukan bertarung dalam arena peperrangan lagi. Aku ada dalam penjaraku. Dalam penjara buatanku sendiri. Karena aku kalah. Kalah dalam peperangan pertama. Kekalahan-kekalahanku selanjutnya bukan terjadi di medan laga. Tapi dalam penjaraku sendiri. Aku berpikir aku berperang. Tapi, kenyataannya tidak. Aku membangun penjaraku sendiri. Disini. Di dalam hati ini. Karena sampai seketika ini, aku hanya bisa menyerah untuk peperangan itu. Belum bertarung, aku sudah mengalahkan diri. Belum menyiapkan senjata, aku sudah menyerahkan diriku ke tangan musuh.
Dari balik teralis ini, aku hanya bisa berpikir. Kapan aku sadar? Bodoh!!Untuk apa bertanya kesadaran jika aku dengan sadar menyerahkan diri? Pertanyaan apa yang bisa aku ungkapkan untuk merunut kekalahanku ini?
Kepada siapa aku takut? Apakah kau takut pada musuhmu? Adakah ketakutanku pada kekalahan yang menghantuiku? Kamu takut untuk menderita?
Diam dan ketahuilah, bahwa Akulah Tuhan.
………………………………………………………………………………………….
Aku terdiam. Aku terpana. Tapi tak ingin aku merenungkannya. Aku …Aku harus keluar dari penjara ini. Penjara yang aku buat sendiri. Terkadang aku nyaman dan merasa senang tinggal dalam penjara ini. Sempit, gelap, dan tak ada kesalahan. Tapi, itu semu. Aku harus mencari yang kekal. Karena yang kekal itu abadi. Tak akan hilang seiring dunia yang semakin renta dan perang yang walaupun bergejolak tapi akan usai jua.
Diriku ingin mencurahkan hati. Cahaya itu ada di depanku. Minta, cari dan ketoklah. Pasti responNya ada. Pasti Dia akan bertindak. Anugrah dan harapan yang ditanamkanNya akan menggerakkan dan menuntunmu. Aku masih harapkan itu…
Diam dan ketahuilah, Akulah Tuhan.
dNiel
28022006
nb : Penjaraku sendiri disadur dari lagu My Own Prison oleh Creed

biarkan malam itu...

Biarkanlah malam ini mengangguku….
Angin dingin yang menusuk hati
Justru membuat jiwaku panas
Didih dan mendidihlah darah kewiraanku
Jangan kau pendam semua tumpukan kertas bekas yang ada di benakmu
Penuhkanlah wadah jerami itu
dengan semua sumpah serapahmu
Memang kau tidak aku pakai lagi
Dan memang mentari pagi sudah bosan
akan tempat duduk yang sedang kau ambil
akan kertas yang dulunya kau robek
-pergolakan -
dNiel di malam tanggal 8 Mei 2007
FRIDAYS WITH COELHOEdisi 07: 24/11/06DI SEBUAH BAR DI TOKYOWanita Jepang itu menanyakan hal-hal yang biasa.“Siapa pengarang-pengarang favorit Anda?”Aku memberikan jawaban-jawaban yang biasanya juga.“Jorge Amado, Jorge Luis Borges, William Blake, dan Henry Miller.”Penerjemahku menatapku kaget. “Henry Miller?”Tapi kemudian dia tersadar, dia tidak seharusnya bertanya, maka dia melanjutkan pekerjaannya. Setelah wawancara selesai, aku ingin tahu kenapa dia tadi begitu kaget mendengar jawabanku. Kukatakan padanya Henry Miller mungkin bukan pengarang yang “politically correct”, tapi dia telah membukakan dunia yang amat luas padaku, buku-bukunya penuh luapan energi yang jarang ditemukan dalam karya-karya literature modern.“Saya bukan bermaksud mengkritik Henry Miller. Saya juga salah satu pengagumnya,” jawab si penerjemah. “Apakah Anda tahu dia menikah dengan seorang perempuan Jepang?”Ya, tentu saja aku tahu. Aku tidak malu mengaku sebagai penggemar fanatik seseorang, sampai-sampai aku mencoba mencaritahu segala sesuatu tentang kehidupannya. Dulu pernah aku datang ke pameran buku hanya untuk melihat Jorge Amado. Aku juga pernah naik bus selama 48 jam untuk bertemu Borges (meski akhirnya jadi kacau gara-gara kesalahanku sendiri. Ketika benar-benar berhadapan dengannya, aku cuma bisa berdiri terpaku, tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun). Aku pernah memencet bel pintu John Lennon di New York (penjaga pintu menyuruhku menitipkan surat berisi alasan kedatanganku, katanya nanti Lennon akan meneleponku, tapi dia tidak pernah menelepon). Aku pernah merencanakan pergi ke Big Sur untuk bertemu Henry Miller, tapi dia keburu meninggal sebelum aku punya cukup uang untuk perjalanan itu.“Wanita Jepang itu bernama Hoki,” aku menyahut dengan bangga. “Aku juga tahu di Tokyo ada museum yang menyimpan lukisan-lukisan cat air Henry Miller.”“Maukah Anda bertemu wanita itu malam ini?”Yang benar saja! Sudah jelas aku mau sekali bertemu orang yang pernah tinggal bersama salah satu idolaku. Dalam bayanganku, wanita itu pasti menerima banyak sekali tamu dari mana-mana, juga permintaan-permintaan untuk wawancara. Bagaimanapun, dia dan Miller pernah tinggal bersama selama hampir sepuluh tahun. Apakah tidak sulit meminta dia menyisihkan waktu untuk seorang pengagum? Tapi kalau si penerjemah mengatakan bisa, sebaiknya aku percaya saja. Orang Jepang selalu menepati janji.Sepanjang sisa hari itu aku menunggu tak sabar, lalu kami naik taksi, dan keanehan itu mulai terasa. Kami berhenti di jalan yang sepertinya tidak pernah kena sinar matahari, dengan jembatan di atas kepala. Si penerjemah menunjuk sebuah bar kelas dua di lantai dua bangunan yang sudah mulai ambruk.Kami naik tangga, masuk ke bar yang kosong melompong, dan di situlah Hoki Miller berada.Untuk menyembunyikan keterkejutanku, kucoba melebih-lebihkan kekagumanku terhadap mantan suaminya. Dia mengajakku ke sebuah ruangan kecil di belakang, yang dijadikannya semacam museum kecil---ada beberapa foto, dua atau tiga lukisan cat air yang telah ditandatangani, buku yang dipersembahkan untuknya, hanya itu. Dia menceritakan padaku, dia bertemu Miller ketika dia sedang mengambil gelar Master di Los Angeles dan untuk menghidupi diri dia bermain piano di sebuah restoran, menyanyikan lagu-lagu Prancis (dalam bahasa Jepang). Miller datang ke restoran itu untuk makan malam, menyukai lagu-lagu yang dinyanyikan (Miller pernah tinggal lama di Paris), mereka berkencan beberapa kali, kemudian Miller mengajaknya menikah.Kulihat ada piano di bar---seakan-akan dia sedang hidup di masa lalu, mengenang hari ketika mereka bertemu. Dia menceritakan berbagai hal membahagiakan dalam kehidupan mereka bersama-sama, masalah-masalah yang timbul akibat perbedaan usia (Miller sudah lebih dari 50 tahun, Hoki belum sampai 20 tahun), masa-masa kebersamaan mereka. Dia menjelaskan bahwa ahli-ahli waris dari pernikahan-pernikahan Miller sebelumnya mendapatkan segala-galanya, termasuk copyright buku-buku Miller---tapi itu tidak penting, kehidupan yang pernah dijalaninya bersama Miller tak bisa digantikan dengan uang berapa pun.Kuminta dia memainkan lagu yang telah menarik perhatian Miller bertahun-tahun silam. Dia memainkannya dengan mata berkaca-kaca, sambil menyanyikan “Autumn Leaves” (Les Feuilles Mortes).Si penerjemah dan aku ikut terharu. Bar, piano, suara wanita Jepang itu yang bergema dari tembok-tembok telanjang tanpa memedulikan kehidupan nyaman para mantan istri lainnya, uang tak terhitung banyaknya yang dihasilkan dari buku-buku Miller, ketenaran yang seharusnya bisa dia nikmati sekarang ini.“Warisan itu tidak penting, cinta sudah cukup,” katanya pada akhir cerita, karena dia mengerti apa yang kami rasakan. Ya, ketika melihat tak ada sedikit pun kepahitan atau kebencian pada dirinya, aku mengerti bahwa cinta sudah cukup baginya.

count your blessing