Friday 19 December 2008

Nostalgila jadi panitia















wow....pengalaman yang menyenangkan itu datang lagi.





Dari dulu semenjak mahasiswa, aku selalu senang ikut berbagai kepanitiaan. Maklum, ga bisa diem...Daripada enegi ini terkuras ke hal-hal yang negatif, mending aku salurkan ke arah yang benar...hehe





Selama bekerja, aku rasakan pasti ga pernah lagi menemukan nikmatnya bekerja sampai peluh mempersiapkan satu acara. Aku pikir ga akan ketemu lagi suasana dan keakraban dalam sebuah panitia itu. Tapi, apa yang kudapatkan? Aku diberi kesempatan untuk terlibat dalam sebuah kepanitiaan. Walau hampir ga jadi panitia, tapi akhirnya aku ditelpon juga dan diminta untuk jadi panitia. Dalam hati aku sangat senang sekali. Jarang-jarang aku akan mengalami sibuk-sibuk dalam sebuah panitia lagi...heheh (masa romantisme panitia yang aneh....)





Aku tergabung dalam kepanitian tour karyawan kantorku. Awalnya rada sedikit aneh dan canggung. Tapi lama kelamaan dinikmatin juga. Teman satu timnya asyik-asyik seh. Aku mikirnya bakal ga kerja ampe cape di kepanitiaan ini. Tapi lumayan cape....





Satu hal yang kudapatkan dalam perjalanan di kepanitiaan ini adalah tentang Passion. Memang kalau kita sudah benar-benar mau untuk melakukan sesuatu, pasti kita akan melakukannya dengan sungguh-sungguh. Entah apapun kendalanya, pasti kita mau melakukannya.





Itulah yang dinamakan menemukan passion dalam pekerjaan.





Selebihnya, lakukan semuanya itu dengan sepenuh hati....

Thursday 4 December 2008

Melihat dari atas











Aku paling suka jika berada di ketinggian. Ada beberapa ornag yang takut akan ketinggian, tapi bagiku ketinggian itu identik dengan kebebasan. Semuanya bisa kau lihat dari atas. Tak ada yang menghalangimu. Lepaskan pandangan samapi ke ujung sana, kemudian palingkan wajahmu, putarkan kepalamu dan lahap semua pemandangan itu.
Menikmati kota Jayapura juga paling tepat jika kau melihatnya dari atas. Apalagi di waktu malam. Semuanya bersinar. Walau tak beraturan tapi matamu tidak lelah untuk melihat semua itu. Kota di tepi laut itu akan memanjakan matamu dengan banyak bintang-bintang buatan. Belum lagi jika melihat gunung-gunung yang penuh dengan hiasan lampu dan beberapa dengan salib yang penuh lampu, membuatku ingin berlama-lama menikmati tebaran cahaya ini.
Walau hanya sebentar, tapi aku menikmati perjalananku di Papua ini. Belum lagi saat pergi ke perbatasan antara Indonesia dan Papua New Gunea. “Aku keluar negeri, cuy.”teriakku ketika menjejakkan kakiku disana. Walau tanpa keterangan imigrasi yang terlalu ribet itu, aku sudah bisa menjejakkan kakiku di luar negeri.:)
Jika melihat perbedaan penjagaan perbatasan, ternyata penjagaan kita tidak terlalu ketat. Penduduk Papua New Gunea bisa saja dengan seenaknya masuk ke daerah kita. Tapi, kita tidak akan bisa masuk ke sana dengan seenaknya. Begitu mirisnya hati ini kala melihat gerbang pembatas itu. Gerbang Indonesia tidak terkunci dan rusak berat, sedangkan mereka terkunci rapat dan rapi sekali. Menunjukkan apa ini?
Lupakan semua perbandingan itu, memang itulah kenyataannya. Sulit untuk menerima kenyataan tapi itulah kenyataannya.
Menikmati dari atas tetap kulakukan selama menikmati perjalanan melewati kampung demi kampung di Kabupaten Jayapura ini.
Lihat dari atas, maka kau akan melihat apa yang disyukuri oleh masyarakat ini.




Wednesday 3 December 2008

Negeri sejuta mesjid















Tempat ini penuh dengan kejutan. Banyak peristiwa yang jarang-jarang terjadi, tapi di daerah ini semuanya terjadi. Mulai dari Daerah Operasi Militer (DOM) untuk menghadapi GAM yang merengut banyak nyawa, penerapan hukum Syariah sampai dengan tsunami yang menggemparkan Indonesia sampai dunia internasional.
Dari banyak kejadian itu, aku tidak berani untuk menyimpulkan apa yang sedang terjadi di daerah ini, tapi aku hanya bisa berpendapat bahwa Tuhan memang memperhatikan semua orang. ”Dia tidak menerbitkan matahari dan hujan untuk orang-orang tertentu saja. Dia membuat smuanya untuk semua orang.”
Selama berjalan-jalan di tempat ini, aku melihat banyak sekali mesjid. Mulai yang megah sekali sampai mesjid yang masih tanggung pembangunannya. Setiap melintasi satu kampung, pasti ada yang meminta-minta sumbangan untuk mesjid di jalanan.
Caranya dengan membuat pembatas jalan, 2 orang petugas berdiri di tengah dengan alat penangkap (seperti alat penangkap ikan) dan beberapa orang membuat tanda untuk memperlambat kendaraan serta yang terakhir adalah orang yang bercuap-cuap untuk memberi keterangna dan meminta sumbangan.
Jumlah tim-tim ini cukup banyak. Tak heran jika memang pembangunan mesjid disana cukup banyak. Apakah memang harus segitunya yah. Yang kumengerti adalah mereka berusaha untuk mendapatkan dana dengan cara begitu. Aku tak mau mengomentarinya, tapi budaya itu sungguh-sungguh sangat banyak.
Itu bahkan bisa memperlambat perjalananmu Jika Medan ke Banda Aceh seharusnya ditempuh dalam 8 jam, ditambah tim-tim itu bisa mencapai 10-12 jam.
Tapi bukan masalah...........
Selama disana bisa mencoba memahami makna tulisan tangan Tuhan melalui tsunami itu. Melihat museum tsunami, kapal itu dan melihat sisa reruntuhan.
Mencoba memahami kesedihan, berusaha untuk menyelami perasaan saudara-saudaraku saat menghadapi musibah itu. Hingga pada satu titik aku hanya bisa mengangguk san berkata,”Dia ingin berbicara denganmu dan kini Dia sedang berbicara.”

Wednesday 19 November 2008

cerita dari negeri pasai

akhirnya aku sampai di negeri serambi mekah Indonesia ini
lelah....perjalanan dari Jakarta, trus ke Medan, trus nginap di Lokhsumawe dan besoknya ke banda Aceh membuatku lelah sekali.
Ekspektasiku di awal memang sudah buruk. Aku harus melakukan perjalanan panjang ini untuk sebuah pekerjaan dari kantor. Membayangkan di awal sudah males...Apalagi menjalaninya...

Tapi, memang kekuatan yang tak terduga berasal dari Causa Prima. Hari demi hari, walaupun lelah tapi harus kujalani. Belum lagi buku Purpose Driven Life (kirain dah ga update, tapi waktu di bandara ada juga dengan semangatnya masih memegang buku ini...padahal khan udah lama...hehehe (sok banget neh gww)). Buku ini mengingatkanku untuk tetap harus bersemangat dalam bekerja.

Salah satu bagian kita dalam melakukan sesuatu dengan tujuan adalah dengan melakukan setiap pekerjaan kita dengan bersemangat dan senyum. Mencoba membuat Allah tersenyum melalui pekerjaanku, itu yang aku dapatkan selama di Aceh.

Selain menikmati kopi Ulee Kareng dan kuliner-kuliner aneh lainnya (yang pasti ga pake ganja...hehehe) aku juga menikmati akhir-akhir mo pulang ke Jakarta. Soalnya harus transit di Medan selama 1 jam. "Oh, nikmatinya...", kata hatiku sambil mengambil foto-foto bandara Polonia.

Monday 10 November 2008

hari "syukur" dan "

hari ini aku belum berbuat apa-apa di salah satu hari bersejarah buat negeriku ini
hari ini hari pahlawan. apa yang harus kulakukan yh?
belum ada yang kulakukan....
waaaaahhhhhhhhh...kacau..............
mo ngapain yh?
berdoa buat negara, para pahlawan, buat keluarga para pahlawan dan akhirnya
aku harus menyanyikan hymne buat mereka

Syukur
Karangan / Ciptaan : H. Mutahar

Dari yakinku teguh
Hati ikhlasku penuh
Akan karuniamu
Tanah air pusaka
Indonesia merdeka
Syukur aku sembahkan
KehadiratMu Tuhan

Dari yakinku teguh
Cinta ikhlasku penuh
Akan jasa usaha
Pahlawanku yang baka
Indonesia merdeka
Syukur aku hanjukkan
Ke bawah duli tuan

Dari yakinku teguh
Bakti ikhlasku penuh
Akan azas rukunmu
Pandu bangsa yang nyata
Indonesia merdeka
Syukur aku hanjukkan
Kehadapanmu tuan

---

Mengheningkan Cipta
Karangan / Ciptaan : T. Prawit

Dengan seluruh angkasa raya memuji
Pahlawan negara
Nan gugur remaja diribaan bendera
Bela nusa bangsa

Kau kukenang wahai bunga putra bangsa
Harga jasa
Kau Cahya pelita
Bagi Indonesia merdeka

menyaksikan anak-anak itu..........
















KEmarin, Minggu 9 November aku ke kampusku di Jatinangor.
Sudah lama aku ga berkunjung ke kampusku yang baru ini. Sekarang gedung sendiri....
(klo dulu mah statusnya masih pinjaman....gedung kuliah ada juga yang dipinjemin ke fakultas lain..)
Sekarang gedungnya udah bagus, megah di antara hamparan tandus Jatinangor yang sekarang,
setiap lahan dijadikan kos-kosan atau jalan-jalan besar.
Hari itu, aku datang untuk menghadiri acara pelantikan HIMASTA (himpunan Mahasiswa Statistika UNPAD).
Awalnya kami menyambut mereka dengan "ramah" dan berlanjut dengan penuh "kehangatan"
Banyak hal yang bisa kupelajari (selain aku ga ke gereja hari itu....waduh....brarti aku sudah 2 kali tidak ke gereja gara-gara ospek. kemarin dan dulu waktu aku diospek:()
Pelajaran pertama :
1. org membatasi dirinya selalu merasa tidak mampu
2. mengekang kreativitas adalah hal yang paling bodoh
3. merasa diri tidak mampu dan tidak mau berusaha adalah hal yang paling bodoh selanjutnya
Akhir dari kunjunganku ke acara pelantikan itu adalah aku pulang ke jakarta...(ya iyalah).
Maksudnya, akhirnya aku bisa bertemu anak-anak 2008. Suatu kesenangan tersendiri buatku di saat itu. Senang bisa menyaksikan hari itu dan senang bisa bertemu teman-teman lama disana.

memasungku

sabtu kemarin aku baca sisipan hadiah dari sebuah buku "santapan harian"
artikelnya mengingatkanku akan apa yang sering terjadi dalam hidupku. "jatuh bangun"...
Seringkali kita berapi-api dalam satu saat, tapi bebrapa menit bahkan detik kemudian sudah jatuh lagi...
Seingkali kita bersemangat untuk mengatakan :tidak lagi", tapi kemuadian kita malah terjerembab....Apakah itu bentuk kemunafikan manusia? Atau (jika memakai kata yg lebih halus lagi), apakah itu yang membuktikan manusia itu lemah dan rentan akan dosa?
Dalam artikel dalam "santapan harian" itu, pasir hidup menggambarkan jatuh bangun manusia itu. Terlebih aku...Yang selalu gagal dalam berkomitmen dan dalam tekad-tekad...
Aku bagai terjatuh dalam "pasir hidup" dosaku...
Sekali aku terjerambab dalam dosaku, kemudian aku berkomitmen untuk tidak lagi, tapi hasilnya aku semakin tertarik ke dalam jika aku sekali gagal saja.
Semakin aku bergerak untuk lepas, aku semakin ditarik ke dalam....
Apa yang membuat seperti itu?
............................................

Tuesday 21 October 2008

tadi panas sekarang hujan lebat

pagi ini pukul 9.15 aku tiba di cirebon. beuh.........panas banget. Bukan sekedar panas biasa yang aku rasakan di Jakarta, tapi panas yang menyengat.
Perjalananku hari ini kurang menyenangkan. Awalnya dari kecepatan sampai di stasiun Gambir. Aku harus menunggu 1 1/2 jam di stasiun karena tidak tepat dalam memperhitungkan lama perjalanan sampai Gambir dari kosanku. Perjalanan yang tidak menyenangkan ditambah dengan AC kereta CIrebon Express yang dingin sekali. Meringsek masuk ke tulang-tulangku. Sungguh sangat terasa sampai tulang-tulangku nyeri.
Sampai di Cirebon.....Beuh.(lagi) Panas buanget....Belum hilang tadi rasa dingin yang menyengat, sekarang panas yang menghajarku.
Alhasil, tubuhku jadi media pertemuan antara panas dan dingin. Aku jadi pusing dan meriang tak jelas. Mumet, belum lagi dengan agenda pekerjaan yang harus kuselesaikan. Mau ngga mau harus mau....
Jam 19.00 masih teras udara panas kota ini. Ditambah dengan angin laut yang tidak menyenangkan itu semakin menggangguku.
Kucoba tidur untuk menenangkan dan mengembalikan tenagaku untuk aktifitas besok. Tapi tidak bisa juga. Masih terasa panas...
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
jam 20.00 (waktu yang kupikirkan bukan waktu sekitarnya yh...), angin bertiup kencang
membuyarkan konsentrasi makanku di Cirebon Super Block (sejenis cafe tamannya di Cirebon),
wushh...dan errrrrrrrrrrrrrrrr.....hujanpun turun...
makin tak jelas lagilah hidup disini.
dingin disambut panas'
udah panas malah disamber dingin..

yang pasti ketidakjelasan lagi pasti terus berlanjut

cepat pasang cepat surut

Ngambang tapi terasa mengena sekali tentang hidupku dari sudut pandangnya. Begitu cepatnya berubah..

Friday 26 September 2008

Mencoba agar mengkilap....

Tadi pagi aku menyemir sepatu di kantor. SOale jarang-jarang nyemir di kosan:)Begitu mulai membuka alat untuk menyemir dan menggosok, aku teringat sesuatu.Sekelebat bayangan aku masa kecil dahulu. Terlintas bayangan semir sepatu bermerek sejenis unggasdan sepatu-sepatu kantor jaman dahulu kepunyaan Bapak.Aku baru mengerti kenapa harus menyemir sepatu untuk berangkat ke kantor. Aku adalah anak yang selalu disuruh untuk menyemir sepatu Bapak. Sebelum Bapak siap-siap ke kantor, aku selalu disuruh.Kadang Mama, kadang Bapak sendiri dan bahkan abang dan kakakkupun ikut menyuruhku untuk menyemir sepatu Bapak. Mungkin "tumbal" sebagai anak bungsu. Pikirku saat itu.Dulu aku tak mengerti kenapa setiap hati harus disemir. Coba kalkulasikan berapa banyak yang harus dikeluarkan untuk usaha menyemir sepatu itu.1. Harus meluangkan waktu....(ingat :waktu adalah hepeng....[hepeng = uang dalam bahasa batak.red])2. harus mengeluarkan uang untuk membeli perlengkapan semir. Aku alat penggosok (aku ga tau bahasa ilmiahnya apa) semir sepatu dan kain penggosok.Terpikir apa yang kulakukan adalah hal yang sia-sia. "Khan besoknya bakal jorok lagi sepatunya.""Harus mengulang lagi kegiatanku itu dung." Pikirku saat itu.Tapi pagi ini aku mengerti kenapa aku harus menyemir sepatu."Mencoba agar mengkilap". Itu yang kurasakan manfaat dan tujuannya. Aku gunakan kata "mencoba" karena tidak seutuhnya akan mengkilap.Karena semir tidak bisa mengembalikan kilapan seperti baru dulu.Aku bersyukur mendapatkan buah pemikiran itu hari ini. Manusia selalu mengupayakan agar dirinya tetap segar.Manusia juga berusaha agar mereka mendapatkan kembali romantisme saat-saat di awal.Tapi apa yang bisa dilakukan, hanya "mencoba untuk mengkilap".

Wednesday 10 September 2008

terasa ingin

Akhirnya doa kami terkabul. Memang sedikit mengukur pekerjaan Tuhan, karena
pada awalnya aku berpikir bahwa doa kami terjawab sedikit. Tapi, kalau dipikir-pikir
apakah manusia sampai mampu mengukur kekuatan TUhan?
Doa kami untuk abangku yang sulung sudah mulai dijawab Tuhan. Beberapa perubahan sudah terjadi. Ada banyak masalah yang dia sebabjan akhir-akhir ini.
Semua pekerjaannya tak pernah berhasil dia selesaikan. Padahal dia ingin membuktikan
klo dia mampu untuk mengerjakan sesuatu dengan mandiri.
Tapi, semuanya itu ga pernah berhasil. Malah berbuntut menjerumuskan mama.
Sungguh sangat keterlaluan di saat mama yang sudah semakin tua, ditambah beban dari dia lagi.
Apa yang membuat dia tega untuk melakukan hal itu?Apakah memang itu semua diluar kemampuan dia? Apa itu semua tidak sanggup dia atasi dengan bertanggung jawab?
Jujur aku marah. Dan memang aku berang. Orang seperti apa dia itu sebenarnya? Aku juga tidak tahu dan tak ingin kumengerti oleh karenanya.
Tapi................lupakanlah.
Mama memberitahu bahwa dia sudah mulai berusaha untuk mengangkat mama dari jerumus dan jurang yang sudah dia buatkan. Dia mulai mengangkat Mama. Sebuah upaya yang melegakan hati. Usaha yang membuat aku berseangat.
"Tuhan mendengar doa kita, Ma." Hanya kata itu yang dapat aku ungkapkan saat Mama menceritakan hal itu....
TUhan mendengar doa kita.

Monday 1 September 2008

Bersama Tuhan Lebih Enak

Pada usia empat tahun anak laki-laki sulung saya, Nathan, tidak dapat berbicara. Ada sekitar enam dokter spesialis THT yang menyatakan bahwa dia mengalami telat berbicara. Lalu saya bawa dia berobat ke Jakarta. Setelah dua minggu menjalani pemeriksaan, anak saya dinyatakan cacat permanen dan tidak ada obat atau terapi untuk membuatnya dapat berbicara. Karena tidak puas dengan semuanya, maka saya bawa dia berobat ke Australia , dan di sana juga dokter menyatakan bahwa anak saya cacat permanen karena terkena virus anjing.Tetapi saya ingat bahwa Tuhan yang kita sembah adalah Allah yang hidup. Saya cuma kembalikan sepenuhnya anak saya kepada Tuhan dan berharap untuk mendapatkan suatu mukjizat. Sejak saat itu saya selalu berusaha ikut berbagai KKR agar anak saya bisa mengalami kesembuhan ilahi. Dimana ada KKR, di sana pasti ada anak saya, Nathan. Tetapi mukjizat belum juga terjadi. Rupanya Tuhan mempunyai rencana yang lain bagi anak saya.Pada suatu hari Tuhan menjawab pergumulan saya. Dia berkata, "Kalau rohanimu bertumbuh 5% saja, maka anakmu juga akan sembuh 5%, demikianlah seterusnya." Ketika Tuhan berbicara tentang pertumbuhan rohani, saya bingung karena pada waktu itu saya sudah melayani Tuhan. Tetapi ternyata di hadapan Tuhan saya ini nol karena hati dan perbuatan saya tidak sesuai dengan firman Tuhan. Setelah saya mengerti, saya mulai melangkah dan memperbaiki hidup saya. Yang dulunya saya suka menonton blue film, menipu, berbuat jahat kepada orang lain dan banyak lagi segi kehidupan saya yang kotor, semuanya itu saya buang.Mukjizat terjadi pada saat anak saya berusia tujuh tahun. Dia mulai bisa berbicara. Saat dia memanggil saya, "Papa!", itu bukan kebahagiaan yang biasa saja, tetapi amat sangat luar biasa karena saya melihat dengan sungguh-sungguh bahwa itu adalah mukjizat dari Tuhan. Menurut perhitungan dan pengetahuan dokter anak saya tidak akan dapat dan tidak akan pernah dapat berbicara. Tetapi bukan demikian kata Tuhan. Karena Tuhan semakin menunjukkan kuasa-Nya saya semakin memperbaiki hidup saya dengan sungguh-sungguh. Dan puji Tuhan, karena karakter saya menjadi semakin baik dan semakin baik, maka anak saya menjadi semakin sembuh.Pada saat dia lulus dari Sekolah Luar Biasa (SLB), saya kemudian menyekolahkan Nathan di sekolah normal. Dia mengalami kesulitan karena pelajaran di sekolah normal jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di SLB. Setiap kali menghadapi ulangan harian, dia kedodoran. Bisa mendapatkan nilai 3 saja kami sudah sangat bangga. Tetapi pada suatu ketika saat dia mau menghadapi ulangan umum dia menanyakan apa yang harus dia lakukan dan saya bilang, "Tuhan Yesus pasti tolong kamu. Tuhan Yesus pasti tolong kamu. Tuhan Yesus pasti tolong kamu. Sekarang tugasmu adalah belajar sebisamu." Pada pagi harinya saat saya antar ke sekolah dia meminta saya menumpangkan tangan, berdoa baginya dan saya juga meminta dia untuk berdoa dahulu sebelum mengerjakan soal-soal.Pada saat dia menghadapi ulangan umum, saya berpuasa untuknya. Ketika pulang sekolah dia menceritakan bahwa sesungguhnya dia tidak mampu mengerjakan soal-soal ulangan, tetapi malaikat Tuhan menolong dia. Tangannya terus menulis jawaban dan dia tidak bisa menghentikannya. Dia rasakan bahwa Tuhan telah menjamah tangannya. Ternyata benar apa yang dia katakan. Dia mendapatkan ranking 2 di kelasnya. Sontak sekolahnya sempat gempar. Bahkan Kepala Sekolah mencurigai bahwa Wali Kelasnya menjual jawaban soal kepada anak saya, karena mereka semua tahu bahwa anak saya tidak cerdas. Karena kuasa Tuhanlah, anak saya dari yang tidak mampu dijadikannya menjadi mampu. Anak saya semakin tumbuh dalam hal rohani karena dia juga melihat mukjizat demi mukjizat terjadi dalam hidupnya. Bahkan Tuhan angkat dia masuk ke Universitas melalui jalur prestasi dan mendapatkan beasiswa.Pada suatu hari setelah dia menyelesaikan ujian SMA-nya, isteri saya yang menjemput dia pulang sekolah. Dalam perjalanan, dia berkata, "I love you, mom!" Saya mengasihi mama dan saya sangat mencintai mama.Sesampai di rumah dia merapikan dirinya, kemudian makan dan sempat bergurau dengan mamanya. Sekitar jam 13.30 dia pamit untuk tidur. Dan pada jam 14.00 siang itu anak saya dipanggil Tuhan pulang ke rumah Bapa di Sorga. Hal itu baru diketahui isteri saya sekitar jam 16.30 sore. Isteri saya menemukan Nathan sudah meninggal ketika dia bermaksud membangunkannya. Dia meninggal dengan keadaan yang sangat tenang. Dapat dilihat dari tempat tidur yang masih tertata sangat rapi.Aku sangat terguncang, bahkan tidak tahu kemana harus kubawa hidupku ini. Isteriku dan anakku yang bungsu histeris. Mereka membentur-benturkan kepala mereka ke tembok, sehingga kurangkul paksa mereka supaya mereka tenang dan kami mulai berdoa.Aku berkata, "Tuhan Yesus, Engkau sungguh baik, karena di saat badai seperti ini Engkau memiliki maksud dan rencana yang indah bagi kami dan kami percaya Engkau tidak akan meninggalkan anak-anak-Mu pada waktu menderita."Saat itu aku merasa ada yang aneh. Secara jujur aku tidak kuat menghadapi semua itu, tetapi di hatiku tidak ada sedikitpun perasaan yang menyalahkan Tuhan. Yang ada hanya rasa syukur. Kami bersyukur karena kasih Tuhan yang luar biasa itu melingkupi kami.Saat Nathan dimasukkan ke dalam es untuk diawetkan, pada pagi hari jam 8 ada SMS masuk dari Amerika yang menyampaikan bahwa:"AKU sangat mengasihi anakmu." Bukan itu saja, Dia kirimkan dua orang hamba Tuhan yang tidak kukenal dan juga mereka menyampaikan pesan yang sama: "Aku telah mengirimkan para malaikat-Ku untuk menjemput anakmu. Sekarang anakmu menjadi bagian dari para penyembah-Ku dan bersukacita bersama-Ku."Aku pegang semua itu, meskipun aku tidak tahu apa maksudnya. Aku mulai berpuasa selama 40 hari dan Tuhan menjawab melalui firman-Nya yang terdapat di dalam Wahyu 14:2-5 yang berbunyi: "Dan aku mendengar suatu suara dari langit bagaikan desau air bah dan bagaikan deru guruh yang dahsyat. Dan suara yang kudengar itu seperti bunyi pemain-pemain kecapi yang memetik kecapinya. Mereka menyanyikan suatu nyanyian baru di hadapan takhta dan di depan keempat makhluk dan tua-tua itu, dan tidak seorang pun yang dapat mempelajari nyanyian itu selain dari pada seratus empat puluh empat ribu orang yang telah ditebus dari bumi itu. Mereka adalah orang-orang yang tidak mencemarkan dirinya dengan perempuan-perempuan, karena mereka murni sama seperti perawan. Mereka adalah orang-orang yang mengikuti Anak Domba itu ke mana saja Ia pergi. Mereka ditebus dari antara manusia sebagai korban-korban sulung bagi Allah dan bagi Anak Domba itu. Dan di dalam mulut mereka tidak terdapat dusta; mereka tidak bercela." Ayat-ayat itu membuatku menangis pada malam itu. Dan ayat-ayat itu terus terngiang-ngiang di dalam pikiranku selama seminggu.

dari kesaksian seorang alumni

ramadhan pertama

kemaren aku kurang tidur....sepertinya harus menanggung beban hari ini
beban ngantuk tapi....hehee....
udah kerjaan lagi ga efektif banget...desain riset dah ga pernah dibuat lagi, kacau neh....
di samping untuk menghormati saudara-saudara yang sedang berpuasa, aku juga harus bertoleransi penuh
terkadang aku juga ingin memanfaatkan momen ini untuk meletakkan satu tonggak perubahan dalam diriku
aku ingin seh
"memanfaatkan dan menyelaraskan dalam sebuah tema kehidupan" adalah kegemaranku
biar kontekstual dan agar teringat lebih
tapi, mungkin lebih bertoleransi melihat kebutuhan manusia yang berbeda-beda kali yah
begitulah kehidupan
terkadang, pengetahuan yang kita miliki menuntun kita pada keegoisan kebenaran yang kita anut sendiri
padahal mah.....itu bukan kebenaran mutlak

Friday 22 August 2008

Tumbuh Bersama

Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih?
Ingin rasanya aku tetap di Jatinangor ini. Menikmati setiap pertumbuhan dan mengeluarkan apa yang kumiliki untuk tetap melayni Tuhan di tempat ini. Tapi apa daya, kehidupan terus berlanjut. Kehidupan harus tetap diputar dalam roda-rodaNya. Pemahaman akan kehidupan yang lebih luas lagi membawaku untuk mencari pekerjaan. Dan tibalah aku di Jakarta dengan tempat bernaung yang baru dalam sebuah perusahaan minuman.
Rasa untuk tetap bersekutu itu ada, tapi aku belum mengerti daerah ini. Ada rasa ketakutan tersendiri saat aku tidak bisa melanjutkan visi-misi pemuridan itu. Serasa aku berdosa buat saudara-saudara yang pernah aku layani. Saat aku berkata harus tetap memiliki komunitas yang sehat untuk saling berbagi dan tumbuh bersama. Aku harus melanjutkan hidup danmenghidupi visi-misi itu.
Hingga tiba suatu saat aku diberikan sebuah kelompok yang penuh dengan perempuan. Hanya seorang abang pembina dan aku yang menjadi Raja dan Pangerannya disitu. Tapi itu tak mengapa, selama tetap TUMBUH BERSAMA.
Aku mengucap syukur diberikan sebuah komunitas yang memang aku rindukan. Walau aku termasuk seorang yang sangat tertutup dalam bercerita dan terkadang memilih untuk diam mendengarkan, tapi aku merasa menghidupi pertumbuhan itu bersama. Aku melihat pergumulan setiap saudara-saudaraku itu untuk mau tetap berjalan dalam Tuhan. Terkadang memang kami harus menyadari bahwa kami itu lemah dan sering jatuh dalam pergumulan kesenangan sebagai murid yang sedikit membandel dari jalan Tuhan, tapi kami selalu meminta petunjuk dan membagikannya bersama. Ada pergumulan pekerjaan, tetap tinggal di suatu tempat pekerjaan atau mencari pekerjaan baru. Atau pergumulan dalam masa-masa hendak menikah. Atau bahkan pergumulan pelayanan di gereja dan keluarga. Semua berarti bagiku. Semuanya terlihat nyata bagiku.
Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu

Anak dari perempuan merdeka

Hari ini genap aku 25 tahun. Seperempat abad sudah aku menjalani kehidupan ini dan banyak dosa yang selalu kulakuan.Semenjak kemaren aku diingatkan oleh Tuhan tentang kemerdekaan. Kemredekaan yang sangat dekat sekali dengan keselamatan.Karena keduanya terbebas.Sungguh sebuah peringatan yang tegas di saat aku yang sedang mengalami perhambaan terhadap dosa seksual dan kebohongan.Dosa ini yang menjadi dosa favorit-ku. Aku dituntut untuk merdeka. Aku dituntut untuk meberanikan diri lepas dan terbebas dari itu semua.Tak ada lagi alasan untuk bersenang-senang di dalamnya. Allah menuntut penyucian dan kekudusan.Kiranya pembersihan itu datang. Kiranya aku bisa diingatkan lagi untuk mau berjuang lepas dari itu.Merdeka!!! BUkan semata-mata pekikan akan kebebasan. Merdeka!!!Adalah pekikan keselamatan.Keselamatan yang dari pada Kristus. Keselamatan dari maut karena dosa-dosaku.

sebenarnya kutulis di tanggal 18

jerih payahmu bukanlah upayamu

Dalam kitab Pengkotbah6 diceritakan tentang umur yang hampir dilupakan karena Tuhan membuat dia menikmati kehidupannya. Seperti apakah kenikmatan hidup yang sampai membuat seseorang itu lupa akan usianya? Dalam konteks buku Pengkotbah itu, kenikmatan itu berasal dari kekayaan. Kekayaan dan setiap hal yang didapatkan oleh jerih payah sendiri.
Wajar jika menikmati hal-hal yang memang kita usahakan. Tapi, dilematis jika Penulis kitab ini maah mengingatkan pada konteks kesiasiaan kekayaan.
Aku seorang yang sangat mengagunng-agungkan apa yang dinamakan dengan kemandirian. Saat ini jauh dari orang tua, hidup dalam dan di atas tangan sendiri adalah salah satu upayaku untuk mencapai kemandirian. Aku mau berdiri di atas kakiku sendiri. Dan itu sudah aku lakukan.
Selain kemandirian itu, perjuangan adalah hal yang kuagungkan juga. Tanpa ada perjuangan, semuanya adalah sia-sia. Tidak satu hal yang datang tanpa ada usaha untuk meraihnya.
Aku senang bisa menikmati itu semua. Tapi, dengungan dan seruan Penulis Pengkotbah kembali bergema. ITU SEMUA SIA-SIA.
Hanya anugrah....Semuanya itu hanya anugrah.
Jerih payahmu bukanlah sebenarnya usahamu.

Wednesday 25 June 2008

Piala yang tak tergapai

Bodoh!!!Tolol!!! Memang kau orang yang munafik
Membantu dan menyemangati orang ...boleh
Lihat dirimu sendiri
”Jangan tangisi aku, tangisilah dirimu sendiri...”
Kapan?Kapan? Kapan kau akan wujudkan kerinduanmu itu
Lagi-lagi kalah...lagi-lagi kalah...
Huh!!!Dasar manusia lemah...
Hanya tinggal sedikit lagi
sebuah hari bisa kau lalui
Malah mencari lobang
untuk menjerumuskan dirimu
Dan akhirnya...piala itu tak kau gapai lagi
Kau sudah punya niat, kau sudah punya hati,
Tapi kenapa sengaja mengalahkan diri
Malah mencari cara untuk kalah...
Dasar kau bodoh!!!
(Keluhan atau pengakuan...aku pun tak tahu)

melindungi dengan berbagi

Hari ini aku menonton sebuah TVC provider telekomunikasi. Iklannya biasa saja dan nyaris garing menurutku,
tapi ada satu yang menggelitik bagiku. Dalam TVC itu, mereka menyanyikan lagu nasional "Dari Sabang sampai Merauke".
Aku jadi teringat dengan kejadian banyaknya kekayaan Indonesia yang diambil atau akan diambil bangsa lain. Pertanyaannya "Mengapa".
"Kok bisa?". Aku melihat salah satu gejalannya dari TVC ini. Bukan dalam upaya mengkritisi TVC ini, tapi ingin melihat jelas
alasan kenapa kekayaan bangsa ini bisa sedemikian renta untuk diambi bangsa lain.
Semuanya masalah menghargai. Proses dan sudut pandang itu sendiri tidak sempit. Sangat luas sehingga bagian menghargai ini sering sekali
menjadi masalah.
Salah satu sisi dari menghargai ini adalah bagaimana menghargai pencipta maupun daerah pencipta. Contoh yang lebih
spesifik adalah lagu. Banyak lagu daerah yang belum dipatenkan menjadi hak kekayaan. Bagaimana melindunginya?
Menyanyikan lagu itu dengan baik dan benar. Proses penghargaan terhadap pencipta sebuah lagu adalah dengan menyanyikan gubahannya
dengan baik dan benar. Dari titik ini, kita akan merasakan apa yang ingin disampaikan penciptanya melalui lagu itu.
Dan proses selanjutnya, kita merasa memiliki lagu itu dan akan melindungi lagu itu.

Monday 19 May 2008

memaknai kebangkitan nasional

wow...besok peringatan 100 tahun kebangkitan nasional
ga terasa seabad....klo kembali mengingat masa penjajahan Belanda dulu (kata guru sejarahku 3,5 abad) waktu yang panjang juga....3,5 abad itu berarti satu generasi keturunan mengalami penjajahan...sungguh tragis
lupakanlah.....(inget dulu tim uber dan tim thomas Indonesia kalah...heheh)
apa yang bisa aku lakukan yah?
berkontribusi untuk negeri ini dalam rangka memperingati hari kebangkitan ini apa yah?
aku sedang membaca buku "Demi Tuhan, Demi Indonesia". Karya Samuel Tumanggor....
sebuah buku yang mengingatkanku untuk tetap berkontribusi untuk bangsa ini
sebagai seorang warga negara yang baik harus selalu berkarya dalam negeri
mungkin kata-kata lain dari Undang-undang Dasar yang berisikan tentang "bela negara" itu harus dimaknai dengan lebih rinci yah
apa yg bisa kuperbuat untuk negeri ini
katanya negeri ini sedang terseok, katanya negeri ini sedang sakit....
.....................................................................................................................................
berdoa buat negeri.....
aku akan melakukannya di hari kebangkitan ini
aku akan berdoa buat bangsa ini....
rasa nasionalisme yang mungkin sudah sudah kita rasakan dan alami saat ini akan berkobar jika kita mengingat bangsa ini
dengan berdoa, aku akan mengingat dan memohonkan pada Tuhan agar negeri ini tetap berkenan bagi Tuhan....

Monday 28 April 2008

bagian merawat itu susah



Ternysta merawat itu bagian yg paling susah ...

sewaktu main ke muara angke, disana ada sebuah pantai yang ga tau apakah itu benar2 pantai

aku kaget awalnya...pantai koq kaya gini...bayangkanku sebagai orang "gunung",pantai itu gimana gitu...ternyata pantai disini kacau abis...

tidak terawat

padahal potensi untuk dijadikan pusat pertemuan supply dan demand para penjaja ikan.

memang bagian dari perawatan itu yg paling susah...bukan sekedar merawat...tapi juga memelihara.....apakah emang etos kita seperti itu?

Friday 25 April 2008

striker buruk

sudah hampir 2 tahun maen bola di kantor tapi cetak golnya ga pernah
kacau khan....striker tanpa gol.......parah bange
teman sekantor bilang "striker mandul"...
tapi tak apalah
sebagai pemcau semangat aja
tapi, aku ga pernah nyetak golnya hanya di pertandingan2 besar saja
klo di pertandingan kecil...wah...subur.......hehehehe(bener ga yah....)
suatu ketika aku diajakin maen bola lagi
ada liga neh di kantor
kali ini aku harus nyetak gol
dari awal dah disugesti sendiri klo hari ini aku bakal nyetak gol (sok-sok nerapin metoda NLP:)
dan kahirnya eh, akhirnya......'GOLLLLLLLLLLLLLL"
nyetak gol juga euy......hampir 2 tahun, hari ini aku nyetak gol.....seru juga........walau cuman satu tapi itu penyemangat buat teman2 dan akhirnya jadi 3-1. Aku gol pembuka....
jadi inget dulu waktu jaman2 SMA di Sidikalang, klo lagi menang sambil nyanyi lagu "PADI" yang judulnya Kasih tak sampai......Wah, kebayang g?
yang liriknya..."tetaplah menjadi bintang di langit"....tapi liriknya diubah
"tetaplah menjadi bintang lapangaaaaaaaaaaaaaaaaaaannnnnnnnnnn......"hehehe
walau karier striker ga bagus, tapi aku bukan striker buruk:)

pelajaran hari ini :
motivasi diri sendiri untuk tetap berkembang

peganglah apa yang ada

Kemaren ada sermon di gereja.
Sermon pemuda HKBP Cakung....Makin lama kayanya makin sedikit anak-anaknya.
Ada apa yh?Mungkin karena udah ga bersemangat lagi kale yh....what everlah....
kami membahas tentang "memegang apa yang ada, agar mahkota kita tidak lepas"
sepertinya ada kontrakdiksi pada firman ini
koq tidak dikatakan "memegang mahkota agar mahkota kita ga lepas" yh?
dalam pemahamanku ternyata memang apa yg ada dalam diri kita itu terbatas
Allah tahu kita ini terbatas
tapi kesetiaan dalam menaati dan berusaha untuk tidak menyangkal Dia akan mengubah "yang ada" itu menjadi "mahkota"
klo disejajarkan dengan pengharapan, itulah pengharapan itu....
pengharapan itu akan apa yang melampaui apa yang ada sejak awal tentunya
berharap itu dalam interval waktu dimana harapan itu belum terealisasi
atau dengan kata lain: "menunggu"
dalam proses menunggu itulah apa kita masih taat atau masih berjuang untuk itu
klo dipikir-pikir relevansinya apa sama sermon yang makin lama "penduduk"nya makin sedikit yh?
mungkin karena kaminya juga yh.....

Monday 21 April 2008

Pelihara suluh pantai walau hanya k'lip kelap


Sebuah lagu yang menyemangatiku di saat2 mengingat tubuh yg lemah
dan semangat yg hanya "klip klap" ini
.....................................................................................................................
Mercu Suar Kasih Bapa(Nyanyikanlah Kidung Baru 206)
"Hendaklah ... pelitamu tetap bernyala" (Lukas 12:35)

(1)
Mercu suar kasih Bapa memancarkan sinarNya.
Namun suluh yang dipantai,kitalah penjaganya.
Reff:
Pelihara suluh pantai walau hanya k'lip kelap.
Agar tiada orang hilang di lautan yang gelap.

(2)
Malam dosa sudah turun,ombak dahsyat menyerang.
Banyaklah pelaut mengharap sinar suluh yang terang.

(3)
Peliharalah suluhmu, agar orang yang cemas,
yang mencari pelabuhan,dari mara terlepas.


--------------------------------------------------------------------------------
Syair dan lagu: Let the Lower Lights Be Burning, Philip P.Bliss (1838-1876), terj. E.L. Pohan (1917-1993)
Sejarah Lagu "Mari Barangsiapa Mau"Syair : Whosoever Will May Come, "philip P. Bliss, 1869. Wahyu 22:17.
Lagu : WHOSOEVER, Philip P. Bliss, 1869.


Pada umur sepuluh tahun, Philip P. Bliss belum pernah melihat sebuah piano.
Mungkin Saudara heran atas kalimat itu: Bukankah siapa saja telah melihat sebuah piano serta mendengar bunyinya?
Bagi penduduk kota, mungkin benar. Tetapi banyak rakyat Indonesia yang belum pernah melihat sebuah piano. Demikian juga dengan si Philip. Walaupun ia sudah mendengar ibunya bercerita tentang alat musik besar yang disebut piano, namun ia sendiri belum pernah melihatnya ataupun mendengar bunyinya.

Anak yang Miskin
Philip P. Bliss lahir pada tahun 1838 di sebuah pondok kayu, di daerah pertanian yang agak terpencil, negara bagian Pennsylvania, Amerika Serikat. Keluarganya miskin sekali. Mereka bekerja keras, namun masih sering kekurangan.
Walaupun demikian, keluarga Bliss itu amat suka akan musik. Sering mereka bernyanyi bersama-sama. Pada waktu ayahnya menyadari bahwa si Philip memiliki kegemaran akan musik yang melebihi yang lainnya, ia pergi ke rawa dan memotong sebatang buluh. Dengan pisau raut ia mengukir sebuah suling kasar untuk putranya yang masih kecil.
Philip senang sekali meniup sulingnya. Ia pun mulai menyimpan uangnya yang sangat sedikit, dengan harapan bahwa pada suatu waktu kelak ia akan dapat membeli sebuah biola yang murah.

Musik yang Indah
Ketika si Philip berumur sepuluh tahun, timbullah dalam benaknya akal yang baik. la pergi sekeliling rawa-rawa dan memetik semacam murbei liar yang tumbuh di situ. Ketika keranjangnya penuh, ia pun berjalan kaki melalui jalan yang panas dan berdebu, menuju ke kota. Pakaiannya compang camping, kakinya telanjang. Kian kemari ia menyusuri lorong dan jalan kota, sambil menjajakan buah dagangannya itu. Siapa tahu, mungkin akhirnya ia akan mempunyai cukup banyak uang untuk pembeli sebuah biola.
Tiba-tiba anak laki-laki itu berhenti. Sayup-sayup terdengar musik yang indah sekali...musik yang belum pernah didengarnya. Apakah gerangan itu bunyi piano, alat musik besar yang telah diceritakan oleh ibunya?
Selangkah demi selangkah ia berjalan lebih dekat. Sampailah dia di serambi muka rumah sumber suara yang indah itu. Philip meletakkan keranjang buahnya di lantai. Dengan malu-malu ia pun mendekat lagi.
Pintu rumah itu kebetulan terbuka. Dengan menahan nafasnya, anak petani yang gemar akan musik itu masuk dan berdiri terpaku, mendengar not-not yang begitu indah.
Tiba-tiba wanita yang sedang memainkan piano itu melihat dia. Secara mendadak ia membanting jarinya ke atas tuts piano dengan bunyi yang keras dan janggal. Ia menatap anak laki-laki yang kotor, berpakaian jelek, yang sedang berdiri di pintunya.
Philip Bliss mengeluh dengan kerinduan: "Maaf, silakan nyonya main terus. Belum pernah kudengar musik yang seindah itu."
"Tidak!" bentak wanita itu. "Apa maksudmu, diam-diam masuk ke mari, he? Lihat, bekas kakimu mengotori serambiku. Ayo, pergi!"
Dengan sedih si Philip mengambil keranjangnya dan pergi. Seandainya diizinkan, tentu ia akan berdiri tenang di situ sepanjang hari, asal saja ia dapat mendengar terus suara piano.

Petani Merangkap Pendidik
Pada umur sebelas tahun, Philip Bliss sudah keluar dari rumah ibu bapaknya untuk mencari nafkah sendiri. Ia menjadi seorang buruh di perkebunan, lalu di kehutanan dan di penggergajian kayu.
Sekali-sekali anak yang pandai itu diberi izin pergi ke sekolah untuk sementara waktu. Kesempatan seperti itu selalu disambutnya dengan gembira, juga kalau ada kesempatan pergi ke gereja.
Pada umur duabelas tahun Philip mengaku percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Ia pun dibaptiskan atas dasar imannya itu.
Ketika ia hanya mencapai umur 18 tahun, Philip Bliss dianggap sudah cukup terpelajar, meski bersekolah secara terputus-putus, sehingga ia sanggup menerima jabatan sebagai guru sekolah desa. Tugas mengajar itu hanya selama musim salju saja; kalau dalam pergantian musim datang lagi cuaca yang baik, terpaksa dia menambah penghasilannya yang sedikit, dengan bekerja keras di ladang.

Nenek yang Baik Hati
Pada umur 20 tahun, Philip Bliss mulai berkenalan dengan seorang gadis dari sebuah keluarga di daerah pertanian tempat ia menjadi guru. Baik Lucy Young maupun keluarganya menyukai pemuda yang rajin itu. Mereka pun suka akan musik, sama seperti Philip sendiri; jadi, mereka mendorong dia untuk memperkembangkan bakatnya.
Pada tahun 1859 Philip Bliss menikah dengan Lucy Young. Selanjutnya suami yang baru berumur 21 tahun itu bekerja di perkebunan milik bapak mertuanya.
Lalu ia mendengar bahwa ada kursus musik yang ditawarkan kepada para peminat. Tempat penyelenggaraannya tidak jauh dari rumah keluarga Young dan keluarga Bliss. Tetapi soalnya, keuangan Philip Bliss masih terbatas, sehingga tak mungkin ia mendaftarkan diri untuk kursus tersebut.
Ketika ia insaf akan hal itu, Philip merasa kecewa dan kesal hati. Ia masuk ke dalam rumah dan merebahkan diri pada sebuah balai-balai. Sudah nasib, seumur hidup ia hanya akan sempat menjadi seorang petani dan guru sekolah desa saja.
Kebetulan nenek istrinya melihat Philip dalam keadaan putus asa itu. Wanita yang sudah lanjut usianya itu menanyakan apa sebabnya. Ia diberitahu bahwa paling sedikit 30 dolar diperlukan, jika Philip akan memanfaatkan kesempatan yang luar biasa itu.
"Astaga, 30 dolar 'kan banyak sekali!" kata nenek itu. "Tetapi nenek punya kaus kaki bekas yang sudah lama dipakai sebagai tempat tabungan. Coba lihat, andaikan ada sebanyak 30 dolar di dalamnya ... ya, ambillah saja!"
Dengan bantuan dan dorongan yang tak diharapkan itu, Philip Bliss jadi pergi. Bukan hanya kursus musik itu saja, melainkan juga kursus-kursus lainnya yang serupa ia hadiri, sehingga kecakapannya di bidang musik semakin berkembang.

Kuda Tua dan Orgel Kecil
Pada tahun 1860 Philip Bliss sudah merasa siap memulai suatu karier baru, yaitu sebagai guru musik yang berkelana. Berkat bantuan keluarga istrinya, ia memiliki seekor kuda betina yang sudah tua, dan sebuah orgel lipat kecil yang murah. Pergilah dia berkeliling, sambil mengajar banyak murid tentang dasar seni musik.
Sementara itu, Philip Bliss masih tetap menggunakan tiap kesempatan untuk meningkatkan keahliannya sendiri. Lambat laun ia pun mulai mengarang musik. Pada tahun 1864 ia memberanikan diri mengirim sebuah lagu romantis hasil karyanya kepada sebuah penerbit besar. Permintaannya, andaikan karangan itu diterima, adalah lain daripada yang lain. Ia minta bukan uang, melainkan sebatang suling yang bagus.
Seorang redaktur menerima lagu yang disertai permohonan aneh itu. Kemudian sebatang suling memang dikirim kepada pencipta lagu tersebut. Tetapi lebih daripada itu, menyusullah suatu tawaran agar Philip Bliss menerima jabatan tetap di kantor penerbit musik itu.
Maka nama Philip P. Bliss menjadi tenar. Ia lalu mulai menggubah lagu-lagu rohani. Ia pun mulai memimpin nyanyian sidang dalam kampanye penginjilan raksasa, seperti yang diselenggarakan masa kini oleh Dr. Billy Graham dan orang-orang lain.
Philip Bliss berperawakan tinggi dan tampan. Suaranya merdu sekali. Sering dalam kampanye besar-besaran ia pun memperkenalkan kepada orang banyak sebuah nyanyian pujian yang baru saja dikarangnya sendiri.
Maka ia menjadi terkenal. Uang hasil penjualan lagu-lagunya masuk terus. Ia dengan istrinya dan anak-anak mereka dapat hidup senang. Namun Philip Bliss tidaklah mementingkan kekayaan atau kenamaan. Makin lama makin giat dia melayani Tuhan Yesus, sehingga ia menjadi salah seorang penyanyi injili yang paling disayangi oleh umat Kristen pada masanya.

Pengaruh Tujuh Khotbah
Akhir cerita yang dahsyat dari riwayat Philip dan Lucy Bliss itu diceritakan pada pasal 14 dari JILID 2 dalam seri buku ini: Kedua-duanya meninggal seketika dalam suatu kecelakaan kereta api pada tahun 1876.
Sungguh menyedihkan, bahwa karier Philip Bliss terhenti pada waktu ia baru berumur 38 tahun saja. Namun ia seolah-olah masih hidup juga, melalui banyak lagu injili yang kini dinyanyikan di seluruh dunia.
Semasa hidupnya, Philip Bliss sering mendapatkan buah pikiran untuk karangannya dari bacaan Alkitab dan lukisan khotbah yang didengarnya dalam kampanye penginjilan. Misalnya, lihat saja lagu yang tertera di halaman 77. Perhatikanlah kata-kata yang ditutup dalam tanda kutip: "Barangsiapa mendengar," dan "Mari barangsiapa mau." Kata-kata itu memang dikutip dari Wahyu 22:17.
Ada juga pengaruh lainnya dalam penciptaan "Lagu bagi Siapa Saja" itu. Pada tahun 1869-1870, datang ke Amerika seorang pengkhotbah muda yang terkenal di Inggris, tanah airnya. Ia pun ingin menggantikan pengkhotbah tersohor Dwight L. Moody, selama satu minggu di kota Chicago. D. L. Moody agak segan, tetapi akhirnya ia setuju.
Anehnya, pengkhotbah muda dari Inggris itu menggunakan nas khotbah yang sama selama tujuh malam berturut-turut. Ayat yang diulang-ulanginya yaitu: Yohanes 3:16.
Tujuh khotbah yang didengar oleh banyak orang itu sangat mempengaruhi baik Dwight L. Moody maupun Philip P. Bliss. Segera terciptalah "Lagu bagi Siapa Saja," yang berkisar pada pokok yang sama seperti yang ditekankan dalam Yohanes 3:16.
Mungkin juga Philip Bliss masih ingat akan pengalamannya sendiri sewaktu ia masih kanak-kanak...ketika wanita yang kurang ramah itu mengusir dia dari rumahnya. Pemain piano yang sombong itu tidak mau menerima seorang anak kecil yang miskin, berpakaian compang camping, kakinya kotor tak bersepatu, walau anak itu membujuk dia dengan sangat agar terus memperdengarkan musik yang indah.
Alangkah bedanya Tuhan Yesus! Ia rela menyambut siapa saja yang bertobat dan percaya. Berita Baik itulah yang berkumandang terus dalam nyanyian pujian hasil karya Philip P. Bliss.

Author : H.L. Cermat
Sumber : Riwayat Lagu Pilihan dari Nyanyian Pujian, Jilid 1® Lembaga Literatur Baptis

Bangunan Penjaraku sendiri

Ah…tiap kali aku selalu jatuh dalam dosa yang sama. Itu…itu…dan itu lagi. Belum…belum cukup hanya sampai disitu. Tapi, itu…itu…dan itu saja. Kapan kemenangan itu akan menghampiriku? Kapan gendering perang itu akan berakhir dengan penuh ucapan kegembiraan yang membahana? Sekali? Dua kali. Dulu itu memang terjadi. Tapi sekarang? Sesampainya aku dalam medan pertembpuran, di saat pasukan musuh menhampiriku, senjatanya yang tajam menusukku, aku bisa melawan. Tapi, di saat angin kesegaran akan kehadiran kemenangan yang didepan mata hendak menjemputku, di saat itu aku buyar. Kacau. Lepas dan terburai…Menjadi serpihan yang hanya menyisakan benda padat untuk bisa dengan cepat dihembuskan.
Aku berharap aku bisa menjadi serpihan padat itu. Jika datang angin timur, aku bisa dibawa dan dihembuskannya meninggalkan arena perang itu. Tapi tidak. Keinginanku untuk bisa cepat pergi dari dunia perang itu tidak terwujud. Bagaikan dikumpulkan kembali, disusun dan direkatkan, aku dipaksa untuk bertarung kembali.
Ternyata hingga saat ini, aku sadar. Aku bukan bertarung dalam arena peperrangan lagi. Aku ada dalam penjaraku. Dalam penjara buatanku sendiri. Karena aku kalah. Kalah dalam peperangan pertama. Kekalahan-kekalahanku selanjutnya bukan terjadi di medan laga. Tapi dalam penjaraku sendiri. Aku berpikir aku berperang. Tapi, kenyataannya tidak. Aku membangun penjaraku sendiri. Disini. Di dalam hati ini. Karena sampai seketika ini, aku hanya bisa menyerah untuk peperangan itu. Belum bertarung, aku sudah mengalahkan diri. Belum menyiapkan senjata, aku sudah menyerahkan diriku ke tangan musuh.
Dari balik teralis ini, aku hanya bisa berpikir. Kapan aku sadar? Bodoh!!Untuk apa bertanya kesadaran jika aku dengan sadar menyerahkan diri? Pertanyaan apa yang bisa aku ungkapkan untuk merunut kekalahanku ini?
Kepada siapa aku takut? Apakah kau takut pada musuhmu? Adakah ketakutanku pada kekalahan yang menghantuiku? Kamu takut untuk menderita?
Diam dan ketahuilah, bahwa Akulah Tuhan.
………………………………………………………………………………………….
Aku terdiam. Aku terpana. Tapi tak ingin aku merenungkannya. Aku …Aku harus keluar dari penjara ini. Penjara yang aku buat sendiri. Terkadang aku nyaman dan merasa senang tinggal dalam penjara ini. Sempit, gelap, dan tak ada kesalahan. Tapi, itu semu. Aku harus mencari yang kekal. Karena yang kekal itu abadi. Tak akan hilang seiring dunia yang semakin renta dan perang yang walaupun bergejolak tapi akan usai jua.
Diriku ingin mencurahkan hati. Cahaya itu ada di depanku. Minta, cari dan ketoklah. Pasti responNya ada. Pasti Dia akan bertindak. Anugrah dan harapan yang ditanamkanNya akan menggerakkan dan menuntunmu. Aku masih harapkan itu…
Diam dan ketahuilah, Akulah Tuhan.
dNiel
28022006
nb : Penjaraku sendiri disadur dari lagu My Own Prison oleh Creed

biarkan malam itu...

Biarkanlah malam ini mengangguku….
Angin dingin yang menusuk hati
Justru membuat jiwaku panas
Didih dan mendidihlah darah kewiraanku
Jangan kau pendam semua tumpukan kertas bekas yang ada di benakmu
Penuhkanlah wadah jerami itu
dengan semua sumpah serapahmu
Memang kau tidak aku pakai lagi
Dan memang mentari pagi sudah bosan
akan tempat duduk yang sedang kau ambil
akan kertas yang dulunya kau robek
-pergolakan -
dNiel di malam tanggal 8 Mei 2007
FRIDAYS WITH COELHOEdisi 07: 24/11/06DI SEBUAH BAR DI TOKYOWanita Jepang itu menanyakan hal-hal yang biasa.“Siapa pengarang-pengarang favorit Anda?”Aku memberikan jawaban-jawaban yang biasanya juga.“Jorge Amado, Jorge Luis Borges, William Blake, dan Henry Miller.”Penerjemahku menatapku kaget. “Henry Miller?”Tapi kemudian dia tersadar, dia tidak seharusnya bertanya, maka dia melanjutkan pekerjaannya. Setelah wawancara selesai, aku ingin tahu kenapa dia tadi begitu kaget mendengar jawabanku. Kukatakan padanya Henry Miller mungkin bukan pengarang yang “politically correct”, tapi dia telah membukakan dunia yang amat luas padaku, buku-bukunya penuh luapan energi yang jarang ditemukan dalam karya-karya literature modern.“Saya bukan bermaksud mengkritik Henry Miller. Saya juga salah satu pengagumnya,” jawab si penerjemah. “Apakah Anda tahu dia menikah dengan seorang perempuan Jepang?”Ya, tentu saja aku tahu. Aku tidak malu mengaku sebagai penggemar fanatik seseorang, sampai-sampai aku mencoba mencaritahu segala sesuatu tentang kehidupannya. Dulu pernah aku datang ke pameran buku hanya untuk melihat Jorge Amado. Aku juga pernah naik bus selama 48 jam untuk bertemu Borges (meski akhirnya jadi kacau gara-gara kesalahanku sendiri. Ketika benar-benar berhadapan dengannya, aku cuma bisa berdiri terpaku, tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun). Aku pernah memencet bel pintu John Lennon di New York (penjaga pintu menyuruhku menitipkan surat berisi alasan kedatanganku, katanya nanti Lennon akan meneleponku, tapi dia tidak pernah menelepon). Aku pernah merencanakan pergi ke Big Sur untuk bertemu Henry Miller, tapi dia keburu meninggal sebelum aku punya cukup uang untuk perjalanan itu.“Wanita Jepang itu bernama Hoki,” aku menyahut dengan bangga. “Aku juga tahu di Tokyo ada museum yang menyimpan lukisan-lukisan cat air Henry Miller.”“Maukah Anda bertemu wanita itu malam ini?”Yang benar saja! Sudah jelas aku mau sekali bertemu orang yang pernah tinggal bersama salah satu idolaku. Dalam bayanganku, wanita itu pasti menerima banyak sekali tamu dari mana-mana, juga permintaan-permintaan untuk wawancara. Bagaimanapun, dia dan Miller pernah tinggal bersama selama hampir sepuluh tahun. Apakah tidak sulit meminta dia menyisihkan waktu untuk seorang pengagum? Tapi kalau si penerjemah mengatakan bisa, sebaiknya aku percaya saja. Orang Jepang selalu menepati janji.Sepanjang sisa hari itu aku menunggu tak sabar, lalu kami naik taksi, dan keanehan itu mulai terasa. Kami berhenti di jalan yang sepertinya tidak pernah kena sinar matahari, dengan jembatan di atas kepala. Si penerjemah menunjuk sebuah bar kelas dua di lantai dua bangunan yang sudah mulai ambruk.Kami naik tangga, masuk ke bar yang kosong melompong, dan di situlah Hoki Miller berada.Untuk menyembunyikan keterkejutanku, kucoba melebih-lebihkan kekagumanku terhadap mantan suaminya. Dia mengajakku ke sebuah ruangan kecil di belakang, yang dijadikannya semacam museum kecil---ada beberapa foto, dua atau tiga lukisan cat air yang telah ditandatangani, buku yang dipersembahkan untuknya, hanya itu. Dia menceritakan padaku, dia bertemu Miller ketika dia sedang mengambil gelar Master di Los Angeles dan untuk menghidupi diri dia bermain piano di sebuah restoran, menyanyikan lagu-lagu Prancis (dalam bahasa Jepang). Miller datang ke restoran itu untuk makan malam, menyukai lagu-lagu yang dinyanyikan (Miller pernah tinggal lama di Paris), mereka berkencan beberapa kali, kemudian Miller mengajaknya menikah.Kulihat ada piano di bar---seakan-akan dia sedang hidup di masa lalu, mengenang hari ketika mereka bertemu. Dia menceritakan berbagai hal membahagiakan dalam kehidupan mereka bersama-sama, masalah-masalah yang timbul akibat perbedaan usia (Miller sudah lebih dari 50 tahun, Hoki belum sampai 20 tahun), masa-masa kebersamaan mereka. Dia menjelaskan bahwa ahli-ahli waris dari pernikahan-pernikahan Miller sebelumnya mendapatkan segala-galanya, termasuk copyright buku-buku Miller---tapi itu tidak penting, kehidupan yang pernah dijalaninya bersama Miller tak bisa digantikan dengan uang berapa pun.Kuminta dia memainkan lagu yang telah menarik perhatian Miller bertahun-tahun silam. Dia memainkannya dengan mata berkaca-kaca, sambil menyanyikan “Autumn Leaves” (Les Feuilles Mortes).Si penerjemah dan aku ikut terharu. Bar, piano, suara wanita Jepang itu yang bergema dari tembok-tembok telanjang tanpa memedulikan kehidupan nyaman para mantan istri lainnya, uang tak terhitung banyaknya yang dihasilkan dari buku-buku Miller, ketenaran yang seharusnya bisa dia nikmati sekarang ini.“Warisan itu tidak penting, cinta sudah cukup,” katanya pada akhir cerita, karena dia mengerti apa yang kami rasakan. Ya, ketika melihat tak ada sedikit pun kepahitan atau kebencian pada dirinya, aku mengerti bahwa cinta sudah cukup baginya.

count your blessing