Monday 21 April 2008

FRIDAYS WITH COELHOEdisi 07: 24/11/06DI SEBUAH BAR DI TOKYOWanita Jepang itu menanyakan hal-hal yang biasa.“Siapa pengarang-pengarang favorit Anda?”Aku memberikan jawaban-jawaban yang biasanya juga.“Jorge Amado, Jorge Luis Borges, William Blake, dan Henry Miller.”Penerjemahku menatapku kaget. “Henry Miller?”Tapi kemudian dia tersadar, dia tidak seharusnya bertanya, maka dia melanjutkan pekerjaannya. Setelah wawancara selesai, aku ingin tahu kenapa dia tadi begitu kaget mendengar jawabanku. Kukatakan padanya Henry Miller mungkin bukan pengarang yang “politically correct”, tapi dia telah membukakan dunia yang amat luas padaku, buku-bukunya penuh luapan energi yang jarang ditemukan dalam karya-karya literature modern.“Saya bukan bermaksud mengkritik Henry Miller. Saya juga salah satu pengagumnya,” jawab si penerjemah. “Apakah Anda tahu dia menikah dengan seorang perempuan Jepang?”Ya, tentu saja aku tahu. Aku tidak malu mengaku sebagai penggemar fanatik seseorang, sampai-sampai aku mencoba mencaritahu segala sesuatu tentang kehidupannya. Dulu pernah aku datang ke pameran buku hanya untuk melihat Jorge Amado. Aku juga pernah naik bus selama 48 jam untuk bertemu Borges (meski akhirnya jadi kacau gara-gara kesalahanku sendiri. Ketika benar-benar berhadapan dengannya, aku cuma bisa berdiri terpaku, tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun). Aku pernah memencet bel pintu John Lennon di New York (penjaga pintu menyuruhku menitipkan surat berisi alasan kedatanganku, katanya nanti Lennon akan meneleponku, tapi dia tidak pernah menelepon). Aku pernah merencanakan pergi ke Big Sur untuk bertemu Henry Miller, tapi dia keburu meninggal sebelum aku punya cukup uang untuk perjalanan itu.“Wanita Jepang itu bernama Hoki,” aku menyahut dengan bangga. “Aku juga tahu di Tokyo ada museum yang menyimpan lukisan-lukisan cat air Henry Miller.”“Maukah Anda bertemu wanita itu malam ini?”Yang benar saja! Sudah jelas aku mau sekali bertemu orang yang pernah tinggal bersama salah satu idolaku. Dalam bayanganku, wanita itu pasti menerima banyak sekali tamu dari mana-mana, juga permintaan-permintaan untuk wawancara. Bagaimanapun, dia dan Miller pernah tinggal bersama selama hampir sepuluh tahun. Apakah tidak sulit meminta dia menyisihkan waktu untuk seorang pengagum? Tapi kalau si penerjemah mengatakan bisa, sebaiknya aku percaya saja. Orang Jepang selalu menepati janji.Sepanjang sisa hari itu aku menunggu tak sabar, lalu kami naik taksi, dan keanehan itu mulai terasa. Kami berhenti di jalan yang sepertinya tidak pernah kena sinar matahari, dengan jembatan di atas kepala. Si penerjemah menunjuk sebuah bar kelas dua di lantai dua bangunan yang sudah mulai ambruk.Kami naik tangga, masuk ke bar yang kosong melompong, dan di situlah Hoki Miller berada.Untuk menyembunyikan keterkejutanku, kucoba melebih-lebihkan kekagumanku terhadap mantan suaminya. Dia mengajakku ke sebuah ruangan kecil di belakang, yang dijadikannya semacam museum kecil---ada beberapa foto, dua atau tiga lukisan cat air yang telah ditandatangani, buku yang dipersembahkan untuknya, hanya itu. Dia menceritakan padaku, dia bertemu Miller ketika dia sedang mengambil gelar Master di Los Angeles dan untuk menghidupi diri dia bermain piano di sebuah restoran, menyanyikan lagu-lagu Prancis (dalam bahasa Jepang). Miller datang ke restoran itu untuk makan malam, menyukai lagu-lagu yang dinyanyikan (Miller pernah tinggal lama di Paris), mereka berkencan beberapa kali, kemudian Miller mengajaknya menikah.Kulihat ada piano di bar---seakan-akan dia sedang hidup di masa lalu, mengenang hari ketika mereka bertemu. Dia menceritakan berbagai hal membahagiakan dalam kehidupan mereka bersama-sama, masalah-masalah yang timbul akibat perbedaan usia (Miller sudah lebih dari 50 tahun, Hoki belum sampai 20 tahun), masa-masa kebersamaan mereka. Dia menjelaskan bahwa ahli-ahli waris dari pernikahan-pernikahan Miller sebelumnya mendapatkan segala-galanya, termasuk copyright buku-buku Miller---tapi itu tidak penting, kehidupan yang pernah dijalaninya bersama Miller tak bisa digantikan dengan uang berapa pun.Kuminta dia memainkan lagu yang telah menarik perhatian Miller bertahun-tahun silam. Dia memainkannya dengan mata berkaca-kaca, sambil menyanyikan “Autumn Leaves” (Les Feuilles Mortes).Si penerjemah dan aku ikut terharu. Bar, piano, suara wanita Jepang itu yang bergema dari tembok-tembok telanjang tanpa memedulikan kehidupan nyaman para mantan istri lainnya, uang tak terhitung banyaknya yang dihasilkan dari buku-buku Miller, ketenaran yang seharusnya bisa dia nikmati sekarang ini.“Warisan itu tidak penting, cinta sudah cukup,” katanya pada akhir cerita, karena dia mengerti apa yang kami rasakan. Ya, ketika melihat tak ada sedikit pun kepahitan atau kebencian pada dirinya, aku mengerti bahwa cinta sudah cukup baginya.

No comments:

Post a Comment

count your blessing