Sunday 31 October 2010

Asmara Nababan dalam Kenangan

Oleh Ignas Kleden

KOMPAS.com - Asmara Nababan meninggal dunia pada suatu hari yang seakan menjadi keinginannya sendiri: 28 Oktober 2010, Hari Sumpah Pemuda, setelah lebih dari setahun menderita kanker paru-paru.

Gejala pertama yang sempat diceritakannya ialah ketika dia kembali ke kampung halamannya di Siborong-borong, Tapanuli Utara, pada Desember 2008, untuk merayakan Natal di sana. Suatu pagi ketika dia sedang melakukan jogging, tiba-tiba saja dia kena serangan yang membuatnya tak sadarkan diri dan harus ditolong orang dengan membawanya ke rumah sakit.

Kembali ke Jakarta dia terlihat segar kembali dan menceritakan kejadian di Siborong-borong seakan suatu peristiwa kecil yang tak seberapa pengaruhnya terhadap kesehatan dan kegiatannya.

Ternyata setahun kemudian, pada hari-hari menjelang Natal dan pada hari raya Natal tahun 2009, dia harus dirawat di Rumah Sakit Darmais, Jakarta, dan menjalani operasi besar yang menyebabkan dia kehilangan sepertiga (!) paru-parunya.

Keluar dari rumah sakit dia bekerja kembali seperti biasa, antara lain mengikuti secara teratur rapat Badan Pengurus Harian di Komunitas Indonesia untuk Demokrasi sebulan sekali, selain kegiatannya di Demos dan keterlibatannya dalam beberapa LSM lainnya. Semenjak operasi itulah dia tidak pulih benar dari sakitnya dan lambat laun wajahnya menjadi agak sembab.

Dengan keadaan serupa itu, kegembiraan hidupnya tak kelihatan berkurang. Hanya lebih sering dia minta waktu untuk mengontrol kesehatannya. Selera makannya stabil meskipun langkahnya berjalan tidak semantap seperti semula kami mengenalnya.

Kehadirannya terasa

Asmara Nababan lahir di Siborong-borong pada 2 September 1946 dan mengembuskan napas terakhir di Guangzhou, China, dalam usia 64 tahun. Setelah menyelesaikan pendidikan menengah di Medan, dia ke Jakarta, menempuh kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hingga lulus, meskipun gelar SH tak pernah terlihat di belakang namanya.

Sejauh mengenalnya, saya berpendapat bahwa dia telah dengan sadar memilih bekerja sebagai tokoh organisasi masyarakat sipil tanpa tergoda untuk masuk suatu partai politik atau mendapat suatu jabatan dalam pemerintahan meskipun perhatian dan pengetahuannya tentang politik nasional dan perkembangan negerinya tak kurang dari politisi mana pun.

Berbagai kegiatan telah dijalankannya sebelum namanya mencuat secara nasional dan internasional ketika dia menjadi Sekretaris Jenderal Komnas HAM untuk periode 1993-1998, yaitu pada puncak transisi politik menuju reformasi, dengan berbagai ketegangan, pertentangan, serta kekerasan politik yang harus dihadapi.

Lepas dari Komnas HAM, dia menjadi anggota Tim Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998, kemudian bersama beberapa rekannya mendirikan Demos, suatu lembaga yang mengkhususkan dirinya dalam penelitian tentang demokrasi dan proses demokratisasi.

Hingga saat meninggalnya, dia adalah Ketua Dewan Pengurus Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dan anggota Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID). Dengan demikian, pusat perhatian dan tema perjuangannya adalah hak asasi manusia dan demokrasi.

Asmara Nababan bukanlah tokoh yang menonjol atau menonjolkan diri dalam kelompok tempat dia bekerja, tetapi tanpa disadarinya dia selalu membuat kehadirannya terasa. Dia tidak mempunyai kefasihan bicara yang membuat orang terpukau, tidak juga tampil dengan gagasan yang gilang-gemilang, tetapi kesungguhannya mendengar dan memerhatikan pembicaraan orang mendatangkan suatu wibawa khusus pada dirinya.

Siapa yang mengenalnya hanya sepintas lalu akan merasa bahwa dia hanya seorang dengan kapasitas rata-rata dan tidak istimewa. Akan tetapi, semakin lama mengenalnya, orang akan diyakinkan bahwa ada suatu yang khusus dan khas dalam kepribadiannya.

Berulang kali saya mengalami bahwa apabila dibutuhkan suatu informasi penting atau pemikiran untuk mengatasi kebuntuan, Asmara mengusulkan sesuatu yang justru dibutuhkan untuk mendapatkan jalan keluar, entah menyangkut masalah hukum, organisasi, atau manajemen. Dia mempunyai stock of knowledge at hand yang tidak diumbar sebarang waktu, tetapi yang siap digunakannya untuk melayani suatu kebutuhan.

Paradoks

Di sinilah muncul paradoks yang sukar saya pahami. Bagaimana seseorang dapat mempunyai pengaruh demikian besar di antara kawan dan rekan-rekannya, meskipun dia lebih banyak berdiam diri daripada bicara atau mencoba meyakinkan orang, bagaimana mungkin seseorang yang selalu menempatkan diri dalam posisi melayani, akhirnya memainkan peranan yang hegemonik, meskipun dia sendiri tidak menghendakinya dan tidak berusaha mencapainya?

Sampai sekarang tetap sulit saya mencerna dalam hati bagaimana caranya menggabungkan keteguhan pendirian dengan kelembutan hati, sikap keras terhadap diri, tetapi penuh maaf terhadap orang lain, suatu erudisi yang jauh di atas rata-rata dengan kesediaan mendengar dan menyimak apa yang dikatakan orang lain, bahkan oleh mereka yang lebih muda dan jauh kurang pengalamannya dari dia sendiri.

Saya memperkirakan bahkan orang yang bertentangan pendapat dan terlibat dalam debat dengannya akan tetap merasa diri sebagai pihak yang dihargai dan dihormati oleh seseorang yang mempunyai kehormatan. Asmara pastilah bukan seorang yang mencari kemegahan di atas kekalahan orang lain, meskipun dia dapat mengambil sikap tegas untuk menolak ketidakadilan dan siap berjuang menentang kekerasan politik.

Kadang-kadang terpikir juga apa kira-kira yang dapat diajukan sebagai kekurangan rekan ini? Setiap kali ada janji rapat, dia selalu tepat waktu. Kalau dia tak sempat datang, dia akan memberi kabar selalu dengan penyesalan, seakan-akan dia tidak melakukan tugas yang amat penting.

Ketika akan berangkat terakhir kali ke Singapura untuk berobat, dia masih datang ke kantor untuk menyampaikan bahwa dia tidak akan dapat menghadiri tiga acara yang diselenggarakan KID selama bulan Oktober. Dia demikian bersungguh-sungguh dengan keadaan fisik yang semakin lemah. Saya tak mempunyai firasat apa pun bahwa dia tak akan lagi menghadiri rapat kami untuk selama-lamanya.

Ada keyakinan aneh dalam diri saya bahwa dari tempatnya sekarang dia tetap akan mendengar apa pun yang dikatakan teman-teman dan menyimak pembicaraan rekan-rekannya dengan tingkat perhatian yang sama.

”Sweet is death that puts an end to pain”, itulah sepenggal sajak Lord Alfred Tennyson, yang saat ini terdengar bagaikan doa untuk almarhum. Semoga damai menjadi tempat dia beristirahat tanpa diburu rasa sakit lagi.

*Ignas Kleden Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
Sumber : Kompas Cetak

Tuesday 12 October 2010

Pahlawan yang Diberangus Sejarah



Oleh : Hotman Jonathan Lumbangaol

12-Jan-2009, 22:09:21 WIB - [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia - Amir Sjarifuddin Harahap hidup pada masa 1907-1948. Beliau lahir di Tapanuli Selatan 27 April 1907. Ayahnya, Djamin Baginda Soripada Harahap (1885-1949) keturunan kepala adat dari Pasar Matanggor, Padang Lawas dan mantan jaksa di Medan. Ibunya, Basunu Siregar (1890-1931), lahir dari keluarga Batak-Melayu.

Karakternya sejak kecil sudah telihat berkepribadian teguh, si Jugulbaut (si Badung). Masa remaja, Amir menimba pendidikan Belanda di ELS setara Sekolah Dasar di Medan sejak tahun 1914 hingga tahun 1921. Tahun 1926 atas undangan sepupunya, TSG. Mulia pendiri penerbit Kristen BPK Gunung Mulia yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad (Dewan) belajar di Kota Leiden, Belanda mengajak Amir untuk juga sekolah di Belanda.

Di Belanda, Amir aktif berorganisasi pada Perhimpunan Siswa Gymnasium, Haarlem. Selama masa itu pula dia aktif mengelar diskusi-diskusi Kelompok Kristen, di kemudian hari Kelompok Kristen menjadi embrio lahirnya Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia. Di Belanda, dua sepupu ini menumpang di rumah seorang guru penganut Kristen Calvinis bernama Dirk Smink.

Kristen Calvinis adalah aliran gereja yang ketat soal doktrin. Calvisnis berasal dari spirit ajaran John Calvin (1509-1564). Sebenarnya Amir Sjarifuddin seorang Muslim. Berpindah agama Kristen saat di Belanda, tetapi dibaptis di HKBP Kernolong, Jakarta tahun 1931. Dia tidak saja hanya berpindah iman tetapi mendalami agama Kristen sungguh-sungguh.

Tiap hari Minggu turut berkhotbah. Khotbahnya selalu menyetuh, dan meneguhkan banyak orang. Paparannya tentang Injil sangat mendalam. Amir adalah orang yang berpengetahuan tinggi, soal politik dan teologia. Bahasanya sederhana dan lugas. Amir sebagai seorang orator yang sangat brilyan, yang suka membumbui kata-katanya dengan humor, karenanya ia menjadi sangat populer.

Sebagai orang yang Kristen sejati, Ade Rostina Sitompul, aktivis kemanusiaan. Ade punya kenangan pada sosok Amir Sjarifuddin, karena ayahnya Kasianus Sitompul berkawan dengan Amir. Amir tinggal di Daerah Guntur, Jalan Sumbing. Kawasan Guntur terkenal dengan kampung Batak. Kala itu, orang Batak bergereja di rumah salah satu warga bermarga Nainggolan, disanalah sering Amir berkotbah.

“Kohtbahnya bersemangat nasionalisme. Bagaimana mengusir Jepang, bagaimana hidup sebagai Kristen. Dia bercerita bagaimana kenangan-nya dipenjara Jepang, dia suruh minum sebanyak-banyaknya, lalu dia digantung dengan kepala ke bawah, lalu air tumpah keluar semua. Saya melihat sosok Amir itu adalah orang yang bersahabat, selalu mengajak anak-anak dialog. Yang pertama dia Tanya sudah berdoa belum? Namanya harus dipulihkan. Apalagi setelah buku yang ditulis dengan Sumarsono itu,” ujar Ade Rostina Sitompul.
Soal semangatnya Kristen-nya, Amir Sjarifuddin mengidolakan Toyohiko Kagawa (1888-1942). Kagawa adalah tokoh Kristen Jepang, yang dulunya adalah penganut agama Shinto. Hidup dengan orang-orang miskin di daerah kumuh, Shinkawa, Jepang.

Dia dikenal sebagai bapak dari gerakan buruh di Jepang, seorang pendiri Serikat Buruh pertama di Jepang yang menyerukan melawan materialisme, kapitalisme. Bagi Kagawa, Kekristenan seharusnya malu mendirikan gereja-gereja besar dan mahal, tetapi gagal mengikuti manusia yang lahir di palungan dan dikubur makan milik orang lain. Bagi Kagawa Salib Jesus itu kuasa yang besar.

Amir tidak hanya pintar berbicara, tetapi pintar menulis. September 1927, sekembalinya dari Belanda, Amir masuk Sekolah Hukum di Batavia dan tinggal di asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat nomor 106. Dalam memperjuangkan kemerdekan Indonesia, dia terlibat berbagai pergerakan bahwa tanah. Tahun 1931, Amir mendirikan Partai Indonesia (Partindo).

Lalu, mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) sembari menulis dan menjadi redaktur “Poedjangga Baroe”. Tahun 1928-1930 dia adalah pimpinan redaksi majalah Perhimpunan Pemoeda Pelajar Indonesia (PPPI). Sebagai seorang wartawan, dia menulis dengan nama samaran "Massa Actie".

Tahun 1942, sebelum dipenjara Jepang, Amir bersama sejumlah orang Kristen menerbitkan Boekoe Peringatan Hari Djadi Isa A-Maseh. Pada bulan Januari 1943 dia tertangkap oleh fasis Jepang, karena dianggap pemberontak. Kejadian itu membongkar jaringan, organisasi anti-fasisme Jepang yang dimotori Amir. Amir dituduh memimpin gerakan di bawah tanah yang dibiayai dengan uang sebesar 25 ribu Gulden dari Van der Plas.

Untuk hal ini, Amir dihukum mati oleh Jepang. Namun, intervensi Soekarno hukuman itu tidak dilaksanakan. Sebuah dokumen Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service (NEFIS), menyebutkan, instansi rahasia yang dipimpin Van Mook, 9 Juni 1947 menulis tentang Amir; "ia mempunyai pengaruh besar di kalangan massa dan orang yang tak mengenal kata takut".

Juli 1945, Amir menulis di Harian Belanda “Nieuwsgier”, bahwa ia tidak seperti Sjahrir, yang sudah merasa senang dengan berada di tengah kalangan intelektual. Zaman baru ini mendorong umat Kristen Indonesia untuk lebih serius memikirkan masa depannya. Berbuat untuk negara ini.

Pendiri Jong Batak
Tahun 1925, sejak “Jong Sumatra”, kesadaran Batak mulai mucul. Amir Sjarifuddin, Sanusi Pane (1905-1968), dan teman-temanya yang sesama etnis Batak, mendirikan organisasi yang disebut “Jong Batak”. Organisasi pemuda Batak ini dibentuk atas kesadaran, karena nominasi “Minang” yang lebih dominan di organisasi “Jong Sumatra “ itu.

Atas kesadaran itu Amir dan rekannya membangun semangat baru bagi pemuda Tanah Batak. Salah satu kesepahaman mereka adalah “Bahasa Batak kita begitu kaya akan puisi, pepatah dan pribahasa yang kadang-kadang mengandung satu dunia kebijaksanaan tersendiri. Bahasanya sama dari Utara ke Selatan, tapi terbagi dengan jelas dalam berbagai dialek. Kita memiliki budaya sendiri, aksara sendiri, seni bangun yang tinggi mutunya, yang sepanjang masa tetap membuktikan bahwa kita memiliki nenek-moyang yang perkasa. Sistim marga yang berlaku bagi semua kelompok penduduk negeri kita menunjukkan adanya tata Negara lama yang bijak. Kita mempunya hak untuk mendirikan sebuah Perserikatan Batak yang khas, yang dapat membela kepentingan-kepentingan kita dan melindungi budaya kuno kita…” (Hans Van Miert, hal 475).

Dihapus dari Sejarah
Dia dieksekusi pada Peristiwa Madiun tragis 19 Desember 1948, pada usia 41 tahun. Dihujat berlebihan. Purbasangka yang tak berdasar. Orang PKI menyebutnya, “krucuk” anak bawang dalam politik, dia nyaris tidak mendapat tempat dari teman-temannya. Lawan politiknya menyebutnya dia arogan.

Pada 29 November 1948, Amir dua rekannya Soeripino dan Harjono bersembunyi di sebuah gua di Pengunungan Gua Macan, sebelah Utara Klabu, Panebahan. Dari dalam gua Amir sempat menyerukan “Saya hanya mau menyerah pada pasukan Panebahan Senopati.” Baru menyerahkan diri tanpa menggunakan sepatu, berpiyama dan memegang pistol, janggutnya tidak terurus dan rambutnya acak-acakkan.

Amir diberondong senjata tim eksekusi, suruhan Kolonel Gatot Subroto, distigma otak dari semua malapetaka Madiun 1948. Sebelum ditembak, Amir sempat bertanya ke komandan regu tembak. “Apakah niatnya itu sudah dia pikirkan dengan matang. Bahwa jika saya mati, negara akan rugi besar,” dengan tegas dijawab “Saya mengikuti komando”.

Untuk terakhir kalinya, Amir sempat menulis surat untuk isterinya. Setelah itu dia bernyanyi Indonesia Raya dan Internasionale baru ditembak. Saat dieksekusi ia memegang Alkitab. Wartawan senior, Rosihan Anwar menulis, Amir dieksekusi dengan menggenggam sebuah buku doa Kristen, bukan Alkitab.

George Mc Turnan Kahin penulis buku Nationalism and Revolution in Indonesia menceritakan bahwa Amir Sjarifuddin menjadi tokoh oposisi di barisan Sayap Kiri karena Dia merasa ditinggalkan oleh Aerika yang katanya jago demokrasi itu. Amir Sjarifuddin "kecewa kepada Amerika sewaktu perundingan Renville".

Kegengerian itu tidak hanya berhenti disitu. Setelah dia mati, keluarganya terluntah-luntah. Dua tahun setelah meninggal, atas perintah Presiden Soekarno, pada tanggal 15 November 1950, pusaranya digali kembali, dilakukan proses identifikasi selama seminggu. Setelah proses identifikasi, diadakan serah terima kerangka kepada keluarga, dimakamkan kembali dengan nisan masing-masing berjajar.

Masa Orde Baru tahun 1965, pasca-G30S, sekelompok pemuda menghancurkan pusara itu lagi. Lalu ditutupi dengan potongan rel kereta api, setiap sisi diberi cor semen. Makam-makam baru juga dibangun bersebelahan dengan setiap sisi sehingga kerangka Amir Sjarifuddin sulit dipindahkan keluarga.

Warga desa Ngaliyan tidak berani menghalang-halangi pemuda-pemuda tersebut sebab pada saat itu terror juga turut mereka rasakan. Kesulitan untuk memugar makam tersebut dirasakan pihak keluarga harus mengurus perizinan yang rumit dari aparat pemerintah desa hingga pemerintah pusat. Lucunya harus persetujuan Kodim serta pihak Departemen Pertahanan Keamanan.
Informasi tentang Amir Sjarifuddin pun sengaja ditutup-tutupi. Di sekolah, belajar sejarah, nama Amir tidak pernah terdengar. Itu sebabnya sosoknya tidak banyak yang tahu, dan jarang diangkat media. Informasi tentang pejuang-nya selalu dibragus.

Satu fakta, Majalah Prisma tahun 1982 pernah hampir dibredel karena memuat tentang tulisan Amir Sjarifuddin, dalam rangka 75 tahun Amir Sjarifuddin. Tahun 1984 Penerbit Sinar Harapan pernah menerbitkan tesis Frederiek Djara Wellem berjudul: “Amir Syarifuddin; Pergumulan Iman dan Perjuangan Kemerdekaan”. Sayang, buku itu di-sweeping oleh pemerintahan Soeharto, karena dianggap merusak sejarah Indonesia.
Pada 27 Mei 2008 lalu, untuk mengenang jasa-jasanya, STT Jakarta mempelopori seminar bertajuk “Amir Syarifuddin Nasionalis Pejuang Kemerdekaan dan Pembebasan Rakyat”. Tampil sebagai pembicara: Setiadi Reksoprodjo mantan menteri pada kabinet Amir Syarifuddin, Ketua STT Jakarta Dr. Jan .S Aritonang, Aswi Warman Adam dosen sejarah dan peneliti. Seminar dimoderatori Fadjroel Rahman.

Perjuanganya tidak pernah dihargai negara. Untuk pemugaran makam-nya saja dibutuhkan waktu 60 tahun. Pemungaran baru bisa tahu lalu dipelopori lembaga Ut Omnes Unum Sint Institute dalam bahasa Latin, yang artinya Agar Semua Satu Adanya. Lembaga yang didirikan 17 pemuda Batak, saat ini diketuai Jones Batara Manurung. Pemungaran tepatnya dimulai 12 Agustus 2008, dengan serangkaian tahapan antara lain: Pertama, pendekatan pada warga desa Ngaliyan dengan koordinasi dengan Komnas HAM.

Lalu dilakukan pertemuan seputar teknis pelaksanaan pemugaran, oleh Ut Omnes Unum Sint Institute memberitahukan perihal rencana pemugaran pada pihak pihak Kecamatan Karanganyar. Setelah pemugaran selesai, tanggal 14 November diadakan Ibadah Syukur di Gereja Dagen Palur, Solo dihadiri para undangan dari berbagai Gereja, LSM, organisasi kemahasiswaan di Solo dan Yogyakarta.
Saat ini di Desa Ngaliyan, setiap bulan “Ruwah”, satu bulan sebelum puasa Islam warga punya tradisi membersihan, perbaikan makam. Bagi masyarakat Ngaliyan, Amir Sjarifuddin dan kawan-kawan adalah pahlawan. Dulu, setiap bulan Ruwah, warga Ngaliyan tidak berani membersihkan makam, takut dicap PKI. Sebutan tak kalah kejam adalah dia disebut seorang ateis, atau seorang yang beragama komunis.

Tetapi kebenaranya sejarah merungkap bahawa ideologi politiknya memang komunis, tetapi dia bukan anti-agama. Para pemimpin agama anti-komunislah menyebut dia ateis. Amir jelas penganut humanis, politikus flamboyan, seniman. Tak kala galau dia mengesek biola saban dulu menjadi kegemarannya. Tidak ada tanda-tanda dia ateis. Aristoteles mengatakan “Nilai manusia, bukanlah ditentukan oleh kehancuran hidup dan cita-citanya tetapi oleh perjuangannya mempertahankan harkat kemanusiaannya.” Kata-kata itulah yang tepat mengambarkan hidup tragis Amir Syarifuddin Harahap. (*)


* Penulis adalah wartawan budaya Batak
Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/

Monday 11 October 2010

Mengapa ada warna?




Mengapa sejumlah pohon berubah menjadi semacam kolase pancaran warna merah anggur, merah, oranye, dan kuning pada musim gugur? Pepohonan tampak hijau di musim panas karena klorofil, suatu pigmen hijau yang terkandung dalam dedaunan, bekerja menyerap sinar merah dan biru dari matahari. Sinar yang terpancar dari daun itulah yang terlihat hijau pada mata kita.

Klorofil adalah zat yang tidak stabil, dan sinar matahari yang terang menyebabkannya membusuk dengan cepat. Oleh karena itu, tanaman harus terus-menerus bersintesis dan beregenerasi. Namun, hari-hari yang lebih pendek dan malam-malam musim gugur yang sejuk telah mempengaruhi proses tersebut. Ketika klorofil terurai, warna hijau dari dedaunan pun mulai memudar. Sejumlah pohon berubah warna dari hijau ke kuning cerah karena jumlah klorofilnya berkurang. Pada pepohonan yang lain, kadar gula di dalam dedaunan menghasilkan pigmen merah, yang menyebabkan dedaunan berubah warnanya menjadi merah anggur, ungu, dan merah cerah ketika klorofilnya memudar.

Namun, mengapa ada warna? Rasanya tidak ada kegunaan yang praktis dari warna—sesuatu yang juga tidak dapat dimengerti oleh para ilmuwan. Dan mengapa ada fotoreseptor (sel-sel khusus yang menerima atau peka terhadap cahaya) di dalam mata kita yang memampukan kita untuk melihat warna?

Saya percaya bahwa kebaikan Allah merupakan maksud penciptaan-Nya. Dia “itu baik kepada semua orang, dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya” (Mzm. 145:9). Allah mewarnai dunia demi kesenangan kita. Tahukah Anda bahwa Allah kita itu baik? —HDR

Allah, Perancang dari segala ciptaan
Berfirman, maka keindahan pun tercipta,
Lalu Dia b’rikan keselamatan agung-Nya pada kita
Melalui pengorbanan Putra tunggal-Nya. —Hess
Kemuliaan Allah bersinar melalui ciptaan-Nya.

1:1 Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh,

1:2 tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam.

1:3 Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil.

1:4 Bukan demikian orang fasik: mereka seperti sekam yang ditiupkan angin.

1:5 Sebab itu orang fasik tidak akan tahan dalam penghakiman, begitu pula orang berdosa dalam perkumpulan orang benar;

1:6 sebab TUHAN mengenal jalan orang benar, tetapi jalan orang fasik menuju kebinasaan.

Sunday 10 October 2010

Jangan dilumpuhkan kesedihan



Kesedihan adalah bagian yang tidak terelakkan dalam hidup. Kita tidak dapat memutuskan untuk tidak bersedih, karena memang "ada waktu untuk menangis" (Pkh. 3:4). Namun kita dapat memutuskan bahwa kesedihan tidak sampai melumpuhkan kita.

Kematian Absalom melahirkan kepedihan yang begitu dalam di hati Daud (18:33). Sedemikian berdukanya Daud sehingga tentaranya yang pulang dari medan perang masuk kota diam-diam, seperti baru saja kalah perang (19:3). Padahal tentara yang menang perang biasanya akan disambut dengan sorak sorai oleh warga kota. Sungguh ironis.

Mengapa Daud begitu sedih? Karena Daud hanya terfokus pada fakta bahwa Absalom, anaknya, mati. Ia tidak melihat sisi lain, yaitu realitas bahwa Absalom adalah pemberontak dan pengkhianat, yang ingin merebut takhta ayahnya sendiri. Daud juga begitu bersedih karena dia tahu bahwa kematian anaknya merupakan bagian dari hukuman Allah terhadap dia karena telah berzinah dengan Batsyeba dan kemudian membunuh suaminya, Uria. Daud tentu masih ingat perkataan nabi Natan, "Pedang tidak akan menyingkir dari keturunanmu sampai selamanya" (2Sam. 12:9-10).

Memperhatikan hal itu, Yoab menegur Daud dengan keras, karena kesedihan Daud berarti mempermalukan orang-orang yang telah menyelamatkan nyawanya. Padahal mereka sendiri mempertaruhkan nyawa mereka untuk membela Daud. Teguran Yoab menyadarkan Daud untuk bangkit dari kedukaan (19:8). Daud harus mengendalikan diri karena dia adalah pemimpin. Banyak hal yang harus diatur dan banyak orang yang membutuhkan kepemimpinannya (8).

Bersedih adalah sesuatu yang normal, yang mungkin dialami oleh setiap orang. Namun membiarkan diri dilanda kesedihan dapat melumpuhkan kita sehingga kita kehilangan kesempatan untuk melihat bahwa Allah, di dalam kasih karunia-Nya, berkenan mengangkat kesedihan kita. Ia juga akan mengaruniakan penghiburan yang menguatkan kita.

count your blessing