Saturday 20 March 2010

Yang seharusnya


Dalam batak, ada beberapa kata yang artinya sama tapi berbeda penggunaannya. Bisa karena maknanya halus dan kasar atau juga berdasarkan apakah itu kata yang seharusnya atau tidak.
Ada kata-kata yang sangat menggelitikku untuk aku terapkan dalam kehidupanku yang pernah aku dengarkan melalui perbincangan antara seorang Sintua [sintua : penatua gereja.red] dengan seorang pendeta. Aku masih ingat perbincangan itu karena dampak dari obrolan santai itu aku mendapat pencerahan baru dan bertekad untuk menerapkannya dalam kehidupanku.
Pendeta : “Asing do ate. Adong do muse halak manjou among tu bapana. I Jakarta on do muse.”
(Aneh yah. Masih ada aja orang yang memanggil bapaknya dengan sebutan among. Di Jakarta pula.)
Sintua : “Sian geleng do huajarhon i. Alana nga godang manjou au Amang. Tarlumobi I gareja ala hasintuaonki. Alai molo iannakhonhu, ingkon manjou Among do tu au. Asa tanda halakki iannanghonku.”
(Dari kecil aku udah mengajarkan itu. Karena sudah banyak yang memanggil aku Amang. Terutama kalau di gereja karena pelayananku. Tapi untuk anak-anakkku, mereka harus memanggil saya Among. Biar orang-orang tahu kalau mereka anakku.)
Sebuah percakapan yang membawaku kepada sebuah pemahaman lebih tentang Amang dan Among. Aku tak pernah mengerti akan hal itu sebelumnya. Tapi makna kata-kata itu ternyata berbeda. Malahan membakar tekadku untuk menerapkannya untuk Mamaku.
“Aku mau memanggil Mamaku dengan Inong.” Rasa kekeluargaan lebih kental kalau memakai kata itu. Agak janggal karena memang aku dan Mamaku tidak pernah menggunakannya, tapi memang itu yang seharusnya aku gunakan untuk sapaanku kepadanya.

21 Maret 2010
*
Aku dedikasikan tulisan ini untuk mengenang Amongku yang sudah meninggal 3 tahun yang lalu tanpa pernah mendengar aku memanggil dia Among, untuk Inongku yang sudah mendengar kata “Inong” dan agak sedikit kaget dan terakhir untuk Amang St. O. Gultom yang sudah dipanggil Bapa ke rumah Abadi.




Friday 19 March 2010

Maukah kau?


Aku sedang berdiri disini
Dan masih tetap disini
dan mungkin akan tetap disini
untuk beberapa saat lagi

bukan untuk melihat
atau untuk menerawang Al Hayat
hanya untuk berdiri dan melayat
tapi takkan menjadi mayat

hanya untuk berdiri
melayat tempat abadi
hanya untuk ada disini
diam sendiri




Thursday 18 March 2010

Yang Terbaring Lemah Menjelang Pesta

Seharusnya ini menjadi perhelatan yang meriah. Dua pekan lagi, Taman Ismail Marzuki menjadi tuan rumah perhelatan kecil untuk sebuah peringatan. Ulang tahun seorang tokoh sastra Tanah Air, Pramoedya Ananta Toer. Namun, sejak beberapa pekan belakangan, tokoh yang berkali-kali masuk nominasi penerima Hadiah Nobel Sastra ini tengah terbaring sakit di rumahnya di kawasan Bojong Gede, Bogor.

Berkereta api dari Jakarta, menumpang ojek, dan berkali-kali bertanya alamat rumah Pram, Koran Tempo akhirnya menemukan rumah sastrawan yang dikenal dengan tetralogi Pulau Burunya ini. "Rumah paling besar dengan tembok kuning dan pagar biru," kata orang-orang di sekitar kompleks perumahan Pram.

Ketika berkunjung di siang pengujung Sabtu silam, rumah Pram tampak lengang. Pagar rumahnya tidak terkunci. Ayunan di halaman yang luas bergoyang ditiup angin. Sementara itu, di sebelah kanan gerbang tampak kolam renang, di sebelahnya sebuah kolam ikan dengan tanaman terapung yang menambah sejuk pemandangan.

Siang itu, Pram tengah beristirahat di kamarnya. Tidurnya tampak tenang, menelungkup dengan kedua tangan melengkung di depan kepala. Pram tidur mengenakan kaus putih, celana training warna krem, kaus kaki putih, sarung tangan putih, dan jam tangan melingkar di pergelangan kirinya. Sandal kulit hitam terletak di ujung karpet.

"Beginilah keadaan Bapak," kata Maemunah, istri Pram, yang saat itu tengah sibuk di dapur bersama putri kelimanya, Rina. Beberapa mahasiswa dari Universitas Indonesia pamit pulang setelah mengurus perpustakaan Pram.

Menurut Maemunah, penulis Eka Budianta baru saja pulang setelah menginap. "Pak Eka sering memberikan pohon untuk ditanam di kebun," katanya. Ia juga memberi potongan marmer untuk diberi grafis nama tanaman dalam bahasa Latin. "Untuk dipasang di depan pohon."

Belakangan ini kondisi Pram mulai membaik, meski keluhan utamanya tetap pada jantungnya. "Bapak sering tidak bisa bernapas," kata Maemunah. Jika sesak, Pram menggunakan tabung oksigen. Meski tidak seharusnya merokok, penerima penghargaan Freedom to Write Award dari organisasi penulis PEN ini tak bisa menghentikan kebiasaannya itu.

Meski dalam kondisi sakit, dorongan menulisnya tak pernah surut. Ia masih menggerakkan jari jemarinya untuk mengabadikan pemikirannya dalam bentuk tulisan. Kalaupun tidak, ia tak lepas dari kegiatan yang berhubungan dengan tulis-menulis. "Mengkliping koran untuk ensiklopedi," kata sang istri.

Sejak sakit, menurut Maemunah, Pram sukar sekali makan. Toh, ia sempat meminta dibuatkan rendang, meski sudah lama tidak makan daging merah. Selain daging, penyakit diabetes melitus yang diidapnya membuat dokter melarangnya makan nasi, terutama karena pernah mencapai kadar gula hingga 600. Tak aneh jika Pram hanya kerap menyantap sayur dan ikan. Untuk minuman, Maemunah menyediakan air jeruk peras. "Bapak senang sekali, bisa sampai satu-dua dos sehari," ujarnya.

Jika sedang tidak ada keluhan, laki-laki yang pernah dibuang ke Pulau Buru selama 14 tahun ini berjalan-jalan ke Jakarta. Biasanya naik mobil. "Bapak selalu tertidur kalau naik mobil. Padahal kalau di rumah keluhannya susah tidur," kata Maemunah.

Pada Idul Adha lalu, Pram juga kedatangan banyak tamu. "Hari itu Bapak kelihatan senang sekali dan banyak mengobrol," ujar istrinya. Kalau sudah senang, Pram bisa betah duduk berjam-jam.

Saat sakit begini, Maemunah banyak menerima telepon yang menanyakan kabar Pram, baik itu dari sesama penulis maupun dari berbagai media massa. Maklum, sejak sakit, Pram hanya bersedia dirawat di rumah. Dokter biasanya datang berkunjung untuk melihat kondisi pria kelahiran 5 Februari 1925 di Blora, Jawa Tengah, ini. Baru setelah kondisinya agak berat, istrinya akan membawa ke Pelayanan Kesehatan St. Carolus.

Sebelum terbaring sakit saat ini, sastrawan yang telah melahirkan 40 karya fiksi dan dokumenter ini memang sudah bolak-balik ke rumah sakit. Selain penyakit gula, laki-laki yang rajin menyantap bawang putih dan penyuka anggur ini juga kerap mengeluhkan jantungnya.

Dalam suatu kesempatan, penulis Gadis Pantai, Calon Arang, dan Cerita dari Blora ini pernah mengatakan bahwa kondisi kesehatannya terus memburuk akibat penahanan di Pulau Buru pada masa mudanya dulu.

Sebelum jatuh sakit, Pram sempat menelurkan sebuah cerita sejarah berjudul Jalan Raya Pos, yang berkisah tentang sejarah pembangunan dan situasi di sepanjang jalan raya Daendels, yang diterbitkan pada Oktober 2005. OLIVIA K SINAGA/ANGELA

Thursday 11 March 2010

memanjakan angan


Sejenak aku terdiam dan menghela nafas sejenak di kota ini. Kota yang dari aku kecil terkenal dengan daerah tujuan para pemuda-pemudi daerahku untuk merantau selain kota Jakarta. Daerah ini terkenal dengan industri dan segala jenis pekerjaan yang bisa memberikan angan kepada seorang manusia untuk bisa tetap hidup bertahan agak sedikit lama jika tinggal di kota ini.
Tak ada yang tahu dan tak ada yang menjamin. Ingin rasanya aku menulusuri kenapa dulu sewaktu aku kecil (dan mungkin sampai sekarang), masih banyak yang meletakkan angannya untuk sampai di kota ini. Yah...sampai sekarangpun masih. *dengan rasa penuh percaya diri karena aku melihat ada beberapa teman yang memang sengaja pergi kesini untuk mencari pekerjaan.
Sambil mulai melayangkan pandangku ke semua penjuru mata angin (ingin rasanya tidak melewatkan kesempatan ini), aku mulai mencari alasan mulia yang sudah usang itu. Kotanya penuh bukit, mungkin hampir mirip dengan bukit uang yang ditawarkan daerah ini. Kenapa bukit uang?Karena menurut analisis kondisi yang tidak terlalu tajam setajam pisau silet, banyak bisnis hiburan disini. Apa relevansi hiburan dengan bukit uang? Kalau banyak bisnis hiburan, berarti para pekerja dan industri banyak disini. Untuk mengendurkan kepenatan mereka, muncullah alat bisnis hiburan. (logis khan :) )
Yang kedua menurutku, penyimpangan banyak terjadi disini. Contohnya adalah deviasi yang tinggi mengenai kesejahteraan. Banyak kalangan bawah dan banyak kalangan atas. Yang menengah pada kemana? Apakah ikut tergerus ke bawah karena kuatnya tekanan atau malah terangkat ke atas bersamaan dengan elevator materi yang sangat banyak disini.
Angan itu dihembuskan pelan, lembut dan sangat eksotik, seeksotik kota ini yang menawarkan semua jenis hiburan.
Ternyata dari sekian banyak penyimpangan semuanya mengarah kepada penyimpangan fokus. Ternyata mungkin saja benar setiap angan itu, tapi apakah semuanya masih bisa kau kejar dengan cara yang benar dan menghasilkan sebuah titik api yang benar?
Jangan engkau terlalu memanjakan anganmu. Karena jika dia sudah berulah, titik apimu akan tidak akan menyala. Bahkan mati walau hanya tertiup angin musim barat itu….

12 Maret 2010,
Bandara Hang Nadim

Tuesday 9 March 2010

kembali menulis




Menulis bagian dari keseharianku

Mulai menulis di pagi hari (saat teduh….itu juga klo inget), menulis di kantor..(ini mah kerjaan) dan menulis hidup ini

Yang terakhir memang agak sulit

Mencoba setia untuk tetap menulis adalah hal yang rumit. Bukan karena menulis itu susah. Tapi, karena memang dorongan di jiwa yang berawal dari pikiran, terdorong ke otak, kemudian secara bertahap mendorong imajinasi dan motorik di tangan untuk menulis.

Pena yang dipakai untuk menulis hidup di kehidupan ini juga bukan pena yang biasa aku pakai untuk menuliskan di buku. Tapi, mencoba memakai segenap tubuh, jiwa dan raga untuk menulis.

Yang menjadi perhatian adalah mencoba mengikuti pena Allah dalam kehidupan ini. Apakah tanganNya sesuai dengan tubuhku untuk menggoreskan sesuatu?

Ingin rasanya lepas mengikuti indahnya gerakan tanganNya, tapi memang tubuh ini selalu membangkang….

count your blessing