Thursday 26 August 2010

akulturasi


Akulturasi....kata ini adalah kata yang aku anggap keren sewaktu duduk di SMA. "Koq keren???" "Keren aja....hahha"
Bukan sekedar kalau mendengar kata ini, kuping agak sedikit harus peka dan otak agak sedikit berpikir lebih cepat, tapi memang makna kata ini luar biasa menurutku.

Walau belum membaca kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), menurutku makna dari kata ini adalah sebuah pencampuran dua hal yang berbeda menjadi satu kesatuan dan membentuk suatu hal yang baru.

Pencampuran - Perbedaan - Persatuan - Hal baru

Keren bukan? (gpp klo ada yang anggap ga keren). Tapi tetap bagiku suatu hal yang menakjubkan. Pertama sekali mengetahui sewaktu belajar sejarah kebudayaan Indonesia. Ada akulturasi Hindu Budha di candi-candi. Ada akulturasi Kristen Batak di Tanah Toba. Dan berbagai macam akulturasi sehingga menciptakan kebudayaan baru.
Di Internasional kita kenal dengan Helenistic. Sebuah akulturasi unik yang menciptakan budaya baru.

Seorang praktisi Marketing pernah mengatakan bahwa untuk menciptakan produk baru, kita bisa mencampurkan dua produk eksisting. MAsuk akal...Mungkin dia belajar dari akulturasi ini juga...hehe....

Satu hal yang unik dan menarik hatiku di negeri Sriwijaya ini adalah dengan adanya akulturasi agama dan kebudayaan. Ceng Ho adalah produk dasarnya. Perpaduan antara Islam dan Kebudayaan Tiong Hoa. Hal yang unik menurutku karena jarang sekali bangsa Tiong Hoa yang beragama Islam. Tapi ada saja.

Bentuk mesjidnya juga unik. Aku mengunjungi mesjid Ceng Ho dan akulturasi itu menyambutku dengan hangat. Paduan bangunan mirip klenteng yang berpuncak pada Bulan dan Bintang.

Akulturasi yang membimbing kita pada sebuah makna yang dalam.
Pencampuran - Perbedaan - Persatuan - Hal baru. Jika boleh saya tambahkan yang baru, ialah Toleransi. Kesemuanya bermuara pada toleransi. Walau berbeda itu menjadi satu oleh yang baru, tapi yang baru dan yang lama tetap bertoleransi. Indahnya semua hal ini saat bertemu pada kutub TOLERANSI. Semoga negara Indonesia juga bisa belajar makna toleransi ini.

Kota Pempek Palembang
27 Agustus 2010

Daniel A Nababan


Wednesday 18 August 2010

Serta - menyertai - penyertaan - disertai


Kata yang selalu aku ingat jika berbicara tentang teman, sahabat, keluarga bahkan dengan Tuhan. Yang paling melekat adalah dengan Tuhan, karena menggambarkan bagaimana janji dan ketetapan bersatu dalam kata ini.
Dengan apa Tuhan selalu menepati setiap kata dan janji yang terucap dari padaNya? Dengan apa Tuhan bisa berada di dalam setiap situasi-situasi suka maupun duka manusia? Jawabannya aku dapatkan dari kata “penyertaan” ini. Hal yang sederhana tapi merupakan jalan Tuhan untuk menunjukkan ke-Tuhan-nya. Hal yang mudah tapi terlalu mudah juga dilupakan orang. Hal yang terkesan di awang-awang tapi bermakna mendalam. Bukan hal yang imajinatif tapi aplikatif…
Kadang penyertaan itu juga kita salah pahami. Kita pikir Dia meninggalkan kita, tapi tanganNya justru yang memegang kita. Kadang kita tidak melihat Dia dan beranggapan Dia tidak ada, tapi justru kita yang tidak melihat Dia dan tidak memperdulikan “kesertaan”-Nya. Berteguh pada pengharapan adalah selalu mengimani bahwa Dia beserta kita.
Itu yang kurasakan saat menginjakkan kaki di anak tangga yang ke-27. Tak cukup kugambarkan tapi hanya bisa kusaksikan. Terutama untuk yang menyertai dan bahkan untuk yang berjuang untuk menyertaiku. Aku rasakan kasih nyata itu melalui sebuah tindakan penyertaan. “Menyertai” bagiku bermakna ada di setiap gejolak perasaan. “Menyertai” bagiku benar-benar meluangkan waktunya untukku. Bahkan jika memang itu bukan waktu yang terluang, tapi waktu yang seharusnya dipakai tapi berani mengoyaknya untuk bersama.
Sebuah pelajaran dan perasaan yang indah. Semuanya bermakna saat “penyertaan” itu datang, dirasakan dan dinikmati. Sungguh hal yang membuatku…merasa kau selalu dekatku

Tinggal sertaku hari t’lah senja
G’lap makin turun, Tuhan tinggallah
Lain pertolongan tiada kutemu
Maha penolong, tinggal sertaku
(Abide with me, Henry Francis Lyte,1847)

Thursday 12 August 2010

Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban


Wajah lama itu sudah tak keruan di kaca,

sedang wajah baru belum jua jelas.

Siapakah itu orang atau manusia Indonesia?

Apakah dia memang ada?

Di mana dia?

Seperti apa gerangan tampangnya?



Mochtar Lubis

Wednesday 11 August 2010

Ketika Keindonesiaan Kita Terkoyak


kompascetak.com
Rabu, 11 Agustus 2010 | 03:34 WIB

Bunyi sila kedua dasar negara kita, Pancasila, hingga hari ini masih terasa begitu indah di telinga. Baik dalam tataran makna maupun ritme dan semangat dari untaian kata-katanya: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Juga masih aktual, paling tidak sebagai bahan refleksi di usia ke-65 tahun republik ini.

Semangat yang diusung para pendiri bangsa ketika merumuskan rangkaian kata tersebut tentulah berangkat pada kenyataan sejarah. Bangunan rumah bersama—baik secara politik maupun kultural—bernama Indonesia itu, dengan Pancasila sebagai lapiknya, dijelmakan sebagai sesuatu yang diidamkan untuk kepentingan bersama.

Kemanusiaan adalah bentuk lain dari semangat menghargai satu sama lain, sosok yang toleran, yang dalam perilaku sehari-hari didasarkan pada kepentingan bersama sebagai sesama anak bangsa. Akan tetapi, bangunan keindonesiaan yang ideal itu kini—harus diakui—mulai terkoyak, terutama pasca-krisis multidimensi yang mengharu-biru negeri ini sejak era reformasi.

Pada sementara orang dan kelompok, keragaman tidak lagi dipandang sebagai suatu anugerah. Perbedaan pandangan kini gampang sekali memicu konflik hingga berdarah-darah.

Apa yang disebut sebagai pluralisme dan multikulturalisme, yang sejatinya sudah muncul semenjak penghunian manusia pertama di Nusantara pada masa prasejarah, kerap disalahtafsirkan secara sempit dalam hubungan pengakuan keyakinan beragama. Bahkan tak jarang dimunculkan isu mayoritas-minoritas atau superioritas-inferioritas, yang pada akhirnya gampang menyulut pertikaian.

Kata-kata bijak bahwa anak negeri ini menghuni bangunan rumah bersama dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia selalu dilandasi semangat gotong royong, rukun, dan toleran, dalam beberapa aspek tampak mulai kedodoran. Semangat menghargai pun sudah mulai kehilangan sosoknya. Kata ”kami” atau ”kamu” kini cenderung mulai mendominasi ranah pergaulan sehari-hari, menggantikan sekaligus menyingkirkan kata ”kita” yang seharusnya menjiwai persaudaraan dalam kebersamaan.

Alhasil, sifat eksklusivisme kelompok pun kian menonjol. Semangat kebinekatunggalikaan yang lebih menekankan penghargaan terhadap keragaman, kesetaraan, dan kesederajatan, kini sepertinya mulai tenggelam di tengah semangat pencarian jati diri kelompok-kelompok tertentu. Di mana sosok manusia Indonesia yang toleran itu kini bersembunyi? Di mana keadilan kini bersemayam? Dan, di mana keadaban itu bertakhta?

Kesenjangan sosial

Terlalu banyak contoh kekerasan komunal di negeri ini, terutama sejak era reformasi bergulir. Konflik-konflik sosial di berbagai pelosok Tanah Air kerap menghiasai layar kaca stasiun televisi, mengisi halaman muka surat kabar, internet, dan siaran radio. Tak jarang karena persoalan sepele, seperti kasus kerusuhan di Ambon, merambat dan meluas menjadi pertikaian antaretnis yang berlarut-larut. Bahkan, hanya lantaran ”jago” mereka kalah dalam pemilihan kepala daerah, amuk massa bisa terjadi di negeri ini.

Di tengah massa yang marah, nilai-nilai ”kemanusiaan yang adil dan beradab” hanya tinggal sebaris kata-kata. Akan tetapi, betulkah sejatinya manusia Indonesia adalah jiwa-jiwa pemarah? Sungguhkah manusia Indonesia adalah sosok-sosok beringas?

Bagus Takwin, ahli psikologi sosial dari Universitas Indonesia, tidak percaya sifat-sifat buruk itu melekat pada manusia-manusia Indonesia. Katanya, ”Masyarakat Indonesia pada dasarnya bukan masyarakat pemarah. Kalaupun muncul kekerasan, hal itu lebih disebabkan oleh akumulasi kekesalan dan reaksi terpendam yang berkepanjangan.”

Sosiolog Imam B Prasodjo juga berpandangan serupa. Dalam kasus kerusuhan antarsuporter sepak bola, misalnya, faktornya antara lain karena ketidakadilan dan kebobrokan yang telanjang di depan masyarakat, tetapi tidak ada upaya serius mengatasinya. Di sisi lain, secara kultural, masyarakat tidak dididik untuk berlapang dada menerima kekalahan dan mengakui keunggulan lawan.

Betul bahwa bahasa Indonesia memiliki kosa kata ”amuk” atau ”amok”, yang konon berurat-akar pada orang-orang Melayu serantau. Akan tetapi, sepertinya halnya kosa kata ”carok” yang melekat pada orang-orang Madura ataupun ungkapan ”siri” pada orang-orang Bugis, peristiwa ”amuk” atau ”amok” tidaklah berdiri sendiri. Di balik itu, ada situasi kultural yang memicunya, yang bila disederhanakan adalah semacam ketertekanan akibat diperlakukan tidak adil. Dalam konteks ini, semangat untuk mempertahankan harga diri adalah hal utama pemicunya, bukan semangat menghamba pada kekerasan itu sendiri.

”Tunjuk ajar” Melayu secara jelas memperlihatkan bahwa sifat pemaaf dan pemurah amat dimuliakan dalam kehidupan masyarakat Melayu. Sifat ini, kata budayawan Melayu ternama, Tenas Effedy, mencerminkan kesetiakawanan sosial yang tinggi sekaligus menggambarkan sifat rendah hati, ikhlas, tidak pendendam, bertenggang rasa, dan berbudi luhur.

Begitu banyak ”tunjuk ajar” dalam bentuk ungkapan, petuah, pantun, dan syair terkait sifat pemaaf dan pemurah dalam kehidupan masyarakat Melayu. Seperti pantun berikut://pasanglah kandil di halaman/api menyala terang benderang/orang yang adil teguh beriman/memberi maaf hatinya murah//. Atau untaian syair berikut://wahai ananda kekasih ibu/mengaku salah janganlah malu/memaafkan orang janganlah menunggu/hati pemurah menjauhkan seteru//. Juga ungkapan semacam ini://apa tanda Melayu terpuji/dendam mendendam pantang sekali/tangan pemurah suka memberi//.

Kalau segala sifat baik itu mulai tenggelam dalam keseharian hidup bermasyarakat, pasti ada sesuatu yang keliru pada pengelolaan bangsa ini. Euforia reformasi yang lebih menonjolkan sisi negatif perilaku anak-anak bangsa, antara lain ditandai munculnya konflik sosial di sejumlah tempat dalam berbagai tingkatan, seolah meniadakan semangat mulia yang terkandung dalam sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab!

Persoalan kultural

Barangkali, tiga tipologi kekerasan oleh negara selama masa Orde Baru, sebagaimana dikemukakan sosiolog Ignas Kleden (Menulis Politik: Indonesia sebagai Utopia, 2001), ikut berperan melahirkan bentuk-bentuk kekerasan di tingkat masyarakat saat ini. Kekerasan jenis pertama yang gampang diamati bersifat fisik, sementara tipologi kedua dalam wujud kekerasan struktural alias dominasi di semua lini kehidupan, serta jenis ketiga terkait kekerasan kultural.

Kekerasan fisik dengan semangat demi dan atas nama stabilitas nasional, baik secara politis maupun budaya, melahirkan bara kebencian pada individu-individu. Sementara dominasi atau kekerasan struktural telah melembagakan ketimpangan dalam pembagian hak, dan karena itu melanggar asas keadilan.

Adapun kekerasan kultural lebih menyangkut ketidakseimbangan—terjadi semacam hegemoni—dalam memproduksi makna. ”Selama Orde Baru, apa yang dikatakan oleh Presiden Soeharto tentang kebudayaan nasional, misalnya, dianggap lebih benar daripada apa pun yang ditulis seorang antropolog berdasarkan penelitiannya,” kata Ignas Kleden.

Selama Orde Baru, pemerintah memang punya sarana untuk menerapkan kekerasan-kekerasan tersebut. Akan tetapi, runtuhnya Orde Baru boleh dibilang mengakhiri hegemoni negara atas rakyat. Pada periode berikutnya, berbagai bentuk kekerasan baru muncul. Kali ini bukan kekerasan oleh negara terhadap masyarakat, melainkan dari dan oleh kelompok-kelompok masyarakat terhadap siapa saja.

Kekerasan komunal, misalnya, dalam pandangan Ignas Kleden, adalah reaksi yang muncul dalam bidang sosial-budaya, yang selama Orde Baru diremehkan sebagai faktor nonekonomi, di mana konflik-konfliknya dipetieskan oleh doktrin suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). ”Kekerasan komunal adalah semacam pembalasan terhadap hegemoni negara yang meremehkan nilai-nilai budaya, atau memanfaatkannya untuk tujuan kekuasaan,” jelas Ignas Kleden.

Mengakhiri tulisan ini, menarik mengutip penggalan pidato kebudayaan Mochtar Lubis (alm) di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, hampir 35 tahun lalu. Di bawah tajuk berjudul ”Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban”, Mochtar Lubis mengawali pidato yang banyak mendapat sambutan—pro dan kontra—itu dengan rangkaian kalimat retoris.

Katanya, ”Wajah lama itu sudah tak keruan di kaca, sedang wajah baru belum jua jelas. Siapakah itu orang atau manusia Indonesia? Apakah dia memang ada? Di mana dia? Seperti apa gerangan tampangnya?”

Terlepas dari itu semua, konflik-konflik sosial yang kini marak tidak seharusnya terjadi apabila kita memahami fondasi keindonesiaan kita: pluralisme dan multikulturalisme! (ken)

Interpretasi Data Statistik



kompascetak.com
Rabu, 11 Agustus 2010 | 02:50 WIB

Oleh Jousairi Hasbullah

Interpretasi data yang keliru akan menyebabkan keliru pula pemahaman dan kesimpulan tentang suatu persoalan. Masyarakat akan bingung. Perencanaan pembangunan yang dirancang juga akan salah arah dan kurang cerdas.

Terkait interpretasi data, cukup menggelitik membaca tulisan Rieke Diah Pitaloka (RDP) di Kompas (31/7) berjudul ”Impersonalisasi Kaum Papa”. Menurutnya, data kemiskinan BPS menyesatkan. Teknik pengukuran garis kemiskinan dari Susenas telah mereduksi pengertian kemiskinan sebagai degradasi kualitas hidup manusia secara nonkuantitatif dan personal.

Definisi bekerja yang digunakan BPS juga dipandang menyesatkan karena mengabaikan mereka yang berpendapatan rendah dan membutuhkan bantuan. Akibatnya, Jahra, penderita tumor ganas di mata kiri, mengalami kesulitan pengobatan karena namanya tidak tercantum di dalam data penerima Jamkesmas.

Kemiskinan dan pekerjaan

Data kemiskinan BPS yang oleh RDP dihubungkan dengan kasus Jahra cukup sulit dipahami bagaimana mengaitkannya secara langsung. Angka kemiskinan BPS, yaitu penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, adalah data kemiskinan makro yang bersifat agregatif, tidak dapat dan memang tidak ditujukan untuk menggambarkan kemiskinan orang per orang. Hampir tidak ada kaitan antara data makro Susenas yang diperoleh dari proses sampling survei yang diulas oleh RDP dan kasus individual yang dialami oleh Jahra. Ini mengindikasikan tantangan besar kita terkait bagaimana memahami data.

Mungkin yang dimaksud oleh penulisnya adalah data mikro jumlah penduduk miskin hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial tahun 2008 (PPLS 2008). Jika demikian, data jenis ini pun tidak seharusnya diterjemahkan sebagai satu-satunya rujukan. Jangankan dalam masa dua tahun, setiap semester data jumlah penduduk miskin akan mengalami perubahan di lapangan. Mereka yang semula dikategorikan sebagai miskin, dalam beberapa bulan dapat berubah menjadi tidak miskin atau sebaliknya.

Data PPLS 2008, yang sudah dua tahun usianya, yang dikumpulkan BPS, akan lebih ideal jika dipandang sebagai panduan awal yang memang diperlukan untuk mengeksekusi program bantuan. Di sisi lain, mereka yang tidak miskin, tetapi tengah mengalami kesulitan seperti penduduk cacat, anak-anak yatim dari keluarga sederhana, penduduk yang tertimpa musibah, atau mereka yang tiba-tiba mengalami kesulitan memang perlu dibantu.

Ini memerlukan semacam kebijakan khusus dari instansi pengelola program atau pemerintah daerah untuk dapat menambah ragam tipologi manusia sasaran dan kemungkinan menambah usulan anggaran. Jumlah populasi penduduk seperti ini idealnya dihitung dengan cara berbeda dari ukuran yang digunakan untuk menentukan kemiskinan.

Kemiskinan memiliki multidimensi dan sulit diukur. Karena kesulitan tersebut, dunia menggunakan ilmu statistik dengan batasan-batasan tertentu, yang umumnya didasarkan pada kemampuan seseorang memenuhi kebutuhan hidup yang paling dasar. BPS menghitung angka kemiskinan, makro dan mikro, atas dasar kebutuhan primer tersebut pada interval waktu tertentu dan tidak menggunakan ukuran di luar standar yang ada, termasuk tidak mengukur mereka yang dalam kategorisasi Amartya Sen sebagai yang tengah dililit kesulitan, apalagi kesulitan sesaat. Poverty tidak sama dengan difficulty atau sudden difficulty.

Ukuran terkait penduduk yang bekerja, yang dipersoalkan oleh RDP, dengan definisi minimal 1 jam dalam seminggu dan dilakukan secara berturut-turut juga bukan masalah. Statistik berkepentingan menunjukkan seberapa besar mereka)yanc bekerja d`ngan jam kerja yang paling rendah, dan pendekatan tersebut justru memperkaya pemahaman terhadap permasalahan ketenagakerjaan.

Upah dan jenis pekerjaan yang diklaim RDP sangat menentukan kemiskinan seseorang memang benar dan itu secara tidak langsung telah diperhitungkan. Sekumpulan variabel untuk mendapatkan angka kemiskinan individual pada PPLS 2008 telah merefleksikan pendapatan yang rendah, jenis pekerjaan serabutan, dan varian ketertinggalan pencapaian sosial ekonomi masyarakat Indonesia.

”Mutant Statistics”

Angka kemiskinan makro tidak dapat langsung dihubungkan dengan kasus orang per orang. Fokusnya berbeda. Di sini dirasakan, pemahaman kita terhadap data sangat diperlukan. Enrico Giovannini, Kepala Divisi Statistik Organisation for Economic Co-operation and Development, mengatakan, salah satu tantangan besar dunia sekarang ini bukan terletak pada kualitas data statistik resmi saja, melainkan semakin banyak kelompok di masyarakat, yang suaranya mendominasi opini publik, yang salah dalam menginterpretasikan data statistik.

Dalam sebuah artikel berjudul Statistics and Politics in a ”Knowledge Society”, Giovannini bahkan mengatakan: ”Data based on shaky methodology can be quoted in public debate as ’fact’. Even correct data can be incorrectly interpretated, resulted in what some call as ’mutant Statistics’” (interpretasi yang tidak sebenarnya dan dicampur dengan interpretasi personal). PBB melalui 10 fundamental principles of official statistics memberi peringatan kuat: ”The statistical agencies are entitled to comment on erroneous interpretation and misuse of statistics”.

Kita memahami kegundahan Rieke Diah Pitaloka, tetapi kita juga semakin memahami bahwa dibutuhkan rekonsiliasi besar antara BPS sebagai produsen data dan para pemerhati pembangunan untuk senantiasa meletakkan pemaknaan data pada tempat yang semestinya.

Jousairi Hasbullah Analis Statistik Sosial, Bekerja di BPS

count your blessing